"Berbuat baik terkadang menjadi tak mudah dalam situasi tertentu. Kita dihadapkan pada pilihan yang rumit—hal-hal tak terduga, hal-hal yang tak pernah ada dalam daftar sebelumnya. Namun, jangan sampai kehilangan arah."
Denpasar, 2003.
Butuh waktu sejenak untuk memperoleh jawaban dari Papi. "Sepertinya memang sengaja dibuang."
"Apa? Kenapa?" tanyaku heran.
"Mungkin karena nggak ada yang mengkonsumsi atau karena jumlah mereka sudah terlalu banyak dan mengganggu orang-orang yang memancing jenis ikan yang bisa dimakan."
"Tapi bukannya itu jahat? Berarti mereka mati sia-sia dong?"
"Bisa dibilang begitu."
"Padahal ikan sapu-sapu itu, kan, lucu."
"Itu, kan, menurut kamu. Ada orang-orang yang nggak suka, bahkan mungkin justru merasa jijik hanya dengan melihat bentuk dan coraknya."
Mendengar hal tersebut membuat aku refleks memajukan bibirku. Aku tak bisa mendebatnya karena menyadari bahwa selera setiap orang berbeda-beda dan perasaan suka tak bisa dipaksakan.
Mobil kami akhirnya berhenti saat hampir mendekati penghujung jalan. Kami berdua turun sambil membawa tas perlengkapan memancing, kemudian memilih tempat yang bisa dikatakan termasuk cukup bersih dibandingkan tempat lainnya.
Tak jauh dari posisi kami berada, aku memperhatikan salah seorang pemancing yang sedang melempar umpan. Rasanya benar-benar sulit untuk dipercaya. "Tapi, para pemancing itu menggunakan lumut sebagai umpan. Berarti bukan salah ikan sapu-sapunya dong. Mereka, kan, memang pemakan lumut," eluhku kemudian.
"Terkadang manusia bisa menjadi makhluk terkejam di muka bumi," komentar Papi dengan nada dingin.
Ya, itu benar. Aku setuju. Di dunia ini memang ada manusia-manusia yang lebih kejam bahkan daripada iblis sekalipun, batinku muak, teringat pada tragedi bom Bali.
"Tapi bagaimana kalau misalnya ada orang-orang yang nggak punya uang untuk membeli lauk dan hanya punya kepandaian dalam bidang memancing? Coba kamu bayangkan. Andai saja setiap mereka menggulung senar yang mereka dapat hanya ikan sapu-sapu. Apalagi kalau di rumah mereka ada anak-anak yang menunggu untuk dikasih makan. Menurut kamu, bagaimana?" sambung Papi kemudian.
"Lapar bisa membuat orang jadi kejam?" simpulku cepat sambil memandangi para pemancing, memperhatikan mereka secara saksama. Aku mencoba melakukan penilaian mulai dari kendaraan, pakaian hingga alat pancing yang mereka gunakan. "Menurutku, mereka kelihatan seperti orang yang mampu. Lagi pula, walaupun lapar bukan berarti mereka harus membuang ikan-ikan itu ke jalan," sambungku tak bisa terima.
"Papi cuma mau tahu pendapat kamu," kata Papi dengan sabar.
"Kumpulkan saja ikan sapu-sapu yang mereka dapat di satu tempat lalu dijual ke penjual ikan biar bisa menghasilkan uang. Setelah itu... mereka, kan, bisa membeli sesuatu. Pasti ada kok yang membutuhkan ikan sapu-sapu sebagai binatang perliharaan buat membersihkan kolam atau akuarium."
"Mau dijual berapa ekor? Berapa harga jualnya? Ikan sapu-sapu di sini, kan, berlimpah. Bisa jadi hanya dihargai murah, bahkan nggak ada harganya."
"Jual ke luar Bali saja. Jadi, pengusaha ikan sapu-sapu," kataku tak putus asa.
Papi tersenyum padaku. "Nggak semudah yang kamu bayangkan. Tapi, bolehlah."
"Ada satu lagi cara lain," kataku dengan penuh semangat, terbesit akan sesuatu. "Sewaktu aku memperhatikan tempat ini, aku sudah membuat sketsa di dalam kepalaku. Aku rasa seharusnya ada sebuah pengaturan untuk tempat-tempat yang seperti ini. Misalnya saja, menentukan spot-spot tertentu selama itu tidak menganggu operasi Dam. Tempat A menjadi taman eceng gondok, tempat B menjadi tempat pemancingan, tempat C menjadi budidaya tanaman air lainnya dan tempat D menjadi tempat penampungan ikan sapu-sapu. Aku rasa itu bisa memberi pengaruh besar sekaligus mengembangkan dan menguntungkan sektor pariwisata dan ekonomi di Bali. Kalau perlu seharusnya disediakan pula satu spot untuk menampung eceng gondok yang terlalu banyak sebagai bahan baku kerajinan tangan. Tapi syaratnya harus ada batas pengambilan biar tanaman itu nggak habis. Kita, kan, bisa mempekerjakan SDM yang ada. Dengan begitu, kita juga bisa membuka lapangan pekerjaan untuk penduduk sekitar sekaligus menjaga keindahan tempat ini."
Papi kembali tersenyum. Kali ini senyumnya lebih lebar daripada sebelumnya. "Anak Papi memang hebat," pujinya sambil menepuk-nepuk punggungku.
"Hari ini aku ada ujian tentang 'perubahan apa yang bisa kamu lakukan untuk lingkungan'."
"Oh, ya?"
Aku mengangguk.
Sebenarnya aku menyadari bahwa di zaman ini anak-anak masih sulit menemukan fasilitas atau sarana untuk mengemukakan pendapat demi membawa suatu perubahan. Namun, Papi adalah orang yang selalu mendengarkan pendapatku walaupun mungkin pendapat itu hanya "omong kosong belaka". Ia mendengarkannya dengan serius seakan-akan aku memilliki kesempatan untuk mewujudkannya. Aku senang karena Papi membiarkan aku bermimpi dikala orang lain hanya menganggap anak-anak sebagai sosok yang tak berdaya dan tak mengerti apa-apa. Bukan berarti orang lain itu salah—memang terkadang ada benarnya. Namun, mereka lupa jika anak-anak seusiaku sedang dalam proses memahami "apa itu dunia" dan juga ingin berkontribusi.
"Kira-kira butuh kolam yang sebesar apa untuk menampung semua ikan sapu-sapu yang ada di sini?" tanya Papi kemudian.
"Besar. Besar sekali," jawabku sambil melihat luasnya ukuran sungai.
"Nah, sekarang coba kamu ke seberang jalan terus bikin kolam. Jangan lupa tebang pohon sama ilalangnya ya," goda Papi.
"Susah sekali ya?"
"Ya. Kamu, kan, tahu cara membuat kolam."
Aku menghela napas panjang.
"Ini baru masalah ikan, belum yang lain. Ada anjing, kucing dan banyak masalah lagi loh di luar sana. Apalagi kalau sudah berkaitan dengan manusia. Bukannya Papi mau memadamkan semangat kamu. Niat kamu bagus, tapi ada hal-hal besar yang nggak bisa kamu lakukan sendiri. Kamu harus tergabung bersama dengan komunitas—orang-orang yang memiliki perasaan yang sama seperti kamu. Harga hidup hewan itu murah sekaligus mahal, tergantung pandangan manusianya. Ada banyak orang yang belum benar-benar memahami, tapi kamu nggak boleh menyerah."
"Apa masalah seperti ini hanya terjadi di Indonesia saja?"
"Ada di semua tempat, di semua belahan dunia. Kalau di Jerman, para pemancing harus wajib memiliki surat izin khusus untuk memancing, mirip seperti SIM. Selain itu, ada peraturan-peraturan yang harus dipatuhi. Misalnya saja seperti jenis ikan tertentu dan berat tertentu harus segera dilepas kembali. Kalau nggak, kamu bisa di penjara. Setiap satu atau dua kali setahun, pemerintah juga akan melepas bibit ikan yang baru agar siklus kehidupan mereka bisa terus berlangsung. Dengan begitu, kelestarian alam pun akan terjaga."
"Bagaimana dengan tanaman atau binatang yang dinilai sebagai hama?"
"Kalau pun dinilai demikian, seperti ikan sapu-sapu ini contohnya, mereka akan mencari tahu manfaat dari jenis ikan ini. Apa mungkin bisa dijadikan sebagai hewan peliharaan, obat dan lain sebagainya. Nanti akan diadakan semacam eksperimen."
"Jadi, nggak mati sia-sia, ya?"
Papi mengangguk. "Setidaknya begitu. Kamu harus sadar bahwa hidup ini memang kejam. Selalu ada harga yang harus dibayar, itu nggak bisa dihindari. Tapi bukan berarti kamu membiarkan hati kamu ikut menjadi kejam. Harus ada kebaikan agar bumi ini tetap ada pada porosnya."
Aku merenungi perkataan Papi baik-baik.
Hidup itu ternyata... rumit sekali ya.
»©»©»©»
~BTS penulisan chapter ini. Sebenarnya bahasa Indonesia Papiku tidak begitu baik. Aku butuh usaha lebih untuk menerjemahkannya ke dalam bahasa yang cukup baku di dalam percakapan agar lebih mudah dimengerti. >_< Tapi, bagaimana menurut kalian? Did you enjoy chapter 11 of VISIBLE 2?
Beri dukungan terhadap penulis dengan cara follow Wattpad: Ensatrixie, klik tanda bintang (☆) di bawah, bantu mempromosikan cerita ini di medsos atau kepada teman-teman kalian 💕
*Cerita ini merupakan karya original yang memiliki HAK CIPTA dan dilindungi oleh Undang-Undang. Di larang keras untuk mengkopi atau menerbitkan tanpa seizin penulis.
Thank you so much for your support and attention!
Love, Ensatrixie (IG), xoxo.
- Bersambung -
KAMU SEDANG MEMBACA
Books #1-3: The VISIBLE Series (Wattpad Books Edition)
HorrorBerdasarkan KISAH NYATA. - VISIBLE 1 (1997-2002): Horror - Mystery ✔ - VISIBLE 2 (2002-2005): Horror - Mystery ➡ Ongoing - VISIBLE 3 (2006-2007): Horror - Mystery ➡ Coming up in December 2021. Ps: New Versions!