"Belajarlah dari hal-hal kecil sebelum memulai sesuatu yang besar."
Kuta, 29 Maret 2001.
Setahun telah berlalu, aku beruntung karena terapi jalan selama beberapa waktu cukup membantu pemulihan kaki kananku. Namun, itu hanya satu dari sekian masalah yang bisa tertangani. Setiap malam aku kesulitan tidur karena penyakit baruku, sinusitis, tak seremeh yang orang-orang katakan. Aku takut penyakit tersebut benar-benar berhasil merenggut napasku karena aku yakin ada napas yang pernah direnggut oleh penyakit tersebut. Aku berhenti mengkonsumsi susu dan mendapatkan puluhan jenis pantangan makan yang menyiksa. Terakhir, yang paling pasti dan harus mulai kuterima, obat-obatan tak pernah jauh dari jangkauanku.
Biasanya, teman-teman akan memberiku tatapan "khusus" saat tak sengaja melihat aku meminum obat. Mereka akan saling berbisik atau terkadang memberanikan diri untuk bertanya. Aku bahkan pernah meminum obat di bawah kolong meja untuk menghindari hal-hal semacam itu, karena faktanya aku payah dalam menjelaskan.
Di salah satu momen, aku pernah terkejut lantas terbentur meja saat Alvano, teman sekelasku, menemukanku. Anak laki-laki tersebut menanyakan alasan mengapa aku berada di bawah kolong meja. Aku pun akhirnya berusaha menjelaskan ketidaknyamananku. Dan sejak itu Alvano bersekongkol untuk membantuku menyembunyikan kegiatan meminum obat.
Hari-hari berlangsung seperti kolam kesengsaraan. Aku berhasil melewatinya bukan karena kuat atau hebat, tetapi karena hanya itu jalan satu-satunya. Salah satu pelarian yang menyelamatkanku adalah usaha untuk tak memikirkannya. Aku cenderung lebih pendiam dan mudah menangis daripada banyak berbicara. Aku tak tahu penyakit seperti ini akan berlangsung hingga berapa lama, tetapi hidup harus terus berjalan, bukan?
»©»©»©»
Hari ini aku dan Stefan mendapat giliran duduk di deretan bangku ketiga dari bagian depan. Jam telah menunjukkan pukul 06.55, yang artinya lima menit lagi bel sekolah akan berbunyi dan pelajaran akan segera dimulai. Namun sayangnya, hingga saat ini aku belum menemukan batang hidung teman sebangkuku tersebut. Aneh rasanya bila bangku di sampingku dibiarkan kosong, padahal kami nyaris bertengkar setiap hari.
Tepat saat bel sekolah akhirnya berbunyi, Stefan muncul dari balik pintu. Ia berlari menuju bangkunya dengan seragam yang masih acak-acakan. "Serius, Sa? Memangnya ada PR bahasa Inggris?" tanyanya tanpa mengucapkan kata "hai" terlebih dahulu.
Aku memutar bola mataku lalu melirik Stefan yang sedang melempar tas ke atas bangku dan mengeluarkan sepaket buku pelajaran bahasa Inggris. "Miss Ivy pelajaran kedua loh," aku mengingatkannya.
"Oh, no!" serunya, membolak-balikkan halaman buku tulis yang berisi sederetan pertanyaan yang belum terjawab. "Gua pinjem PR dong." Stefan menyodorkan tangan kirinya tanpa menoleh padaku.
Kupukul telapak tangannya, tetapi kemudian memberikan buku milikku tanpa berdebat. Lagipula, ini masih pagi dan mataku masih mengantuk. Berdebat dengan Stefan akan memakan waktu lama, percayalah.
"PR matematika kamu sudah? Kalau sudah, nanti aku mau cocokin ya."
"Umm... gampang, kemarin gua les mat. Jadi, PR mat gua udah beres."
"Oke." Beberapa saat kemudian aku menyenggol sikunya. "Masukin gih. Bu guru sudah datang tuh," kataku, mengingat di kelas kami ada sebuah peraturan di mana kita tidak boleh berbicara atau mengerjakan apapun saat guru sudah memasuki kelas.
Stefan mengangguk-angguk, tetapi masih sibuk menulis dan merapikan baju seragamnya dengan sebelah tangan.
"Kok kamu bisa santai gitu sih?" desisku, hanya menggerakkan bagian ujung bibir agar kosa kataku bisa terdengar jelas oleh Stefan saja.
Aktifitas tangan Stefan tiba-tiba terhenti. Ia menatapku dengan raut wajah serius yang menghilang dalam sekejap. "Masalah nggak akan selesai kalau kitanya nggak santai," jawabnya cuek, mulai menulis kembali.
Saat Bu guru sudah mempersilahkan kami semua untuk kembali duduk, Stefan sudah selesai mengerjakan PR-nya dan tersenyum padaku. "Thanks," katanya dengan sangat manis.
Aku menggeleng-gelengkan kepala, bingung dengan sikap Stefan yang selalu easy going dalam menghadapi masalah. Namun setelah aku renungkan, aku rasa ia memiliki semacam kemampuan untuk menilai situasi dan mengendalikan diri sehingga bisa tetap tenang dan berpikir jernih. Ia bisa memilah dengan cepat, apa yang harus dilakukan dan tak boleh dilakukan di saat-saat genting. Aku rasa hal seperti itu adalah sesuatu yang sangat kubutuhkan dalam hidupku.
Dan sepertinya... aku harus belajar banyak dari dirinya.
»©»©»©»
Sering begitu nggak sih kalau punya teman sebangku yang lawan jenis? Sering berantem, tapi giliran dia-nya nggak masuk berasa sepi wkwk... Coba tulis pengalaman kalian di kolom komentar. I'd love to read it, but remember to keep comments respectful©
Did you enjoy chapter 37 of VISIBLE 1?
Beri dukungan terhadap penulis dengan cara follow Wattpad: Ensatrixie, klik tanda bintang (☆) di bawah, bantu mempromosikan cerita ini di medsos atau kepada teman-teman kalian 💕
*Cerita ini merupakan karya original yang memiliki HAK CIPTA dan dilindungi oleh Undang-Undang. Di larang keras untuk mengkopi atau menerbitkan tanpa seizin penulis.
Thank you so much for your support and attention!
Love, Ensatrixie (IG), xoxo.
- Bersambung -
KAMU SEDANG MEMBACA
Books #1-3: The VISIBLE Series (Wattpad Books Edition)
HororBerdasarkan KISAH NYATA. - VISIBLE 1 (1997-2002): Horror - Mystery ✔ - VISIBLE 2 (2002-2005): Horror - Mystery ➡ Ongoing - VISIBLE 3 (2006-2007): Horror - Mystery ➡ Coming up in December 2021. Ps: New Versions!