"Kebahagiaan itu bagaikan emas, seperti waktu. Jadi, saat kau merasakan kebahagiaan, nikmatilah dengan sungguh-sungguh sebelum semuanya kembali menjadi semu."
Denpasar, 2003.
Guk... Guk...
Hugo menggali lubang lebih dalam, membuat butiran-butiran pasir jatuh berhamburan di atas tubuhku.
"Hugo!" seruku, melempar segenggam pasir ke arah bokongnya yang sedang bergoyang-goyang, tanda bahwa suasana hatinya sedang senang.
Mendengar namanya disebut, Hugo yang terkejut sontak terperosok ke dalam lubang pasir yang sengaja kami gali. Wajahnya yang polos bagaikan bayi tak berdosa tenggelam di antara gundukan pasir yang terdapat di pinggir lubang. Ia bersin selama beberapa kali kemudian menggeleng-gelengkan kepala, berusaha menyingkirkan pasir yang menempel di wajahnya. Namun, karena bulu-bulunya masih basah, pasir-pasir tersebut tak mau hilang, hanya menyisakan bagian mata yang tampak semakin coklat terang karena terkena sinar matahari.
Hugo mendengus, terlihat kesal selama sesaat. Detik berikutnya perhatiannya teralihkan kepada kepiting kecil yang sedang berjalan miring menuju ombak yang berlabuh di tepi pantai. Tanpa berpikir panjang, Hugo mendekat, menggeram kemudian berusaha menggigit kepiting kecil tersebut. Lalu sesuatu terjadi. Suara gemeretak gigi-giginya tiba-tiba disusul oleh suara pekikan yang terdengar sangat mengejutkan.
Aku segera berlari ke arahnya, mendapati Hugo sedang menggesek-gesekkan salah satu kaki depannya ke bagian pipi sebelah kanan. Saat ia berpaling, tampak sebuah capit kecil yang dengan mantap tengah mencapit salah satu kumis Hugo. Tubuh kepiting kecil yang menggantung tersebut berayun saat Hugo mengangkat wajahnya. Mata Hugo mendelik ke arah kepiting kecil tersebut berada, ia tampak tak tahu harus bagaimana.
Dengan cepat, aku berusaha menyingkirkan kepiting kecil tersebut sebelum capit yang satu lagi melukai wajah Hugo. Namun, sayangnya... karena kecerobohanku, tanpa sengaja aku justru memutuskan sebatang kumis Hugo yang berharga.
Oops.
"Sorry," kataku kemudian.
Alis Hugo saling bertaut dan matanya spontan terbelalak.
Aku tak bisa menahan tawaku saat melihat ekspresi yang terlukis pada wajahnya. Aku tertawa terbahak-bahak hingga perutku terasa sakit, tetapi diam-diam juga merasa bersalah. Hugo yang sepertinya merasa tersinggung, mulai kembali menggali lubang, membuat pasir-pasir kembali berhamburan mengenai tubuhku. Usai melakukan hal tersebut, ia menyalak-nyalak, senang karena sudah membalas, pergi meninggalkanku dengan bokong yang semakin terlihat sengaja digoyang-goyangkan ke sana kemari seakan mengejekku.
Aku memutar bola mataku dan memeluk lutut. "Dasar anak naughty!" seruku sembari memandangi Hugo yang telah berjalan menjauh, kemudian tersenyum. Ini salah satu momen unik, momen yang tak ingin kulupakan.
Saat sudah benar-benar sendiri, pikiranku melayang kepada kedua orang tuaku. Papi yang berada di atas bebatuan sedang sibuk dengan alat pancingnya, sementara Mami yang tak turun dari mobil karena takut sinar matahari layaknya seorang vampir sedang asyik membolak-balikan majalah di jok penumpang bagian depan sambil sesekali melirikku.
Kualihkan pandanganku menuju ke arah laut biru yang terhampar luas. Kurebahkan tubuh dalam posisi telungkup, sementara kedua tanganku menopang dagu.
Seekor kelomang yang baru saja datang terbawa gulungan ombak, berjalan tertatih-tatih kemudian berhenti tepat di hadapanku. Pejuang kecil tersebut membuatku bertanya-tanya... Entah sudah berapa lama ia terbawa ombak? Entah sudah sejauh apa ia mengarungi lautan? Entah sudah berapa kali ia sanggup bertahan atau menghindari para pemangsa?
Aku berusaha menghentikan pikiranku lalu menghela napas dalam-dalam. Sepertinya setiap kehidupan memang membutuhkan perjuangan untuk menghadapi berbagai macam rintangan dalam porsi yang berbeda-beda. Sederhananya, kita semua memiliki masalah dan tantangan dalam hidup.
Tiba-tiba aku teringat pada Lucky.
Aku mengelus cangkang si pejuang kecil dengan jari telunjuk, tetapi kemudian tersadar jika kelomang tersebut sama saja dengan kelomang lainnya. Dalam sekejap, ia langsung bersembunyi di dalam cangkang, menganggap aku sebagai ancaman.
Sama sekali bukan Lucky, batinku.
Aku tersenyum letih, kemudian tatapanku beralih ke arah pemandangan yang kini sedang disajikan oleh langit. Banyak sekali pemandangan yang bisa dinikmati dalam sekali waktu. Aku merasa menjadi kaya seketika saat menyadari berkat yang diberikan oleh Tuhan, terutama yang terlihat oleh mataku.
Mata ini adalah mata yang telah melihat dan memperhatikan berbagai macam hal meskipun aku belum mengetahui maksud dan tujuan dari semuanya. Walau yang kulihat tak semuanya tampak "rupawan", tetapi aku senang memiliki mata ini menjadi bagian dari tubuhku dengan harapan suatu saat nanti aku bisa menemukan jawaban atas kepemilikan mata ini dan hal-hal yang kini masih tak kumengerti. Ya, harapan. Harapanlah yang membuat kita tetap bertahan.
Jika dipikir masak-masak, pulau Bali turut andil membuatku memiliki harapan yang begitu besar. Pulau ini telah memberiku begitu banyak kenangan, menjadi bagian dari diriku, rumah bagiku. Ya, rumah. Tempat di mana hatimu selalu ingin pulang, berkumpul bersama keluarga, saling menjaga dan membuat kenangan baru. Bukankah begitu definisi dari sebuah rumah? Atau mungkin definisi sebuah rumah akan tergeser untuk beberapa kasus spesial, seperti saat kita tak tahu "di mana" rumah itu sendiri berada? Beberapa kasus seperti perceraian, kematian dan hal-hal lainnya atau mungkin bagi mereka yang tersesat, tak tau jalan pulang, tak mengerti arah dan tujuan hidup? Ya, itu semua mungkin saja terjadi, bukan?
Sekarang ini seharusnya aku merasa bersyukur karena masih bisa menikmati hidup, memiliki keluarga yang masih bisa berkumpul, tahu ke mana harus pulang, bahkan tinggal di sebuah pulau bak surga dunia. Namun, aku sering sekali mendengar orang dewasa berkata, "Hidup seperti roda yang berputar. Kadang kau berada di atas dan kadang kau berada di bawah".
Jadi, kira-kira sampai kapan semuanya akan seperti ini? Pikiran tersebut tiba-tiba muncul dan menggangguku. Aku merasa gelisah sekaligus takut dengan hal-hal yang mungkin saja sedang menanti di masa depan. Tunggu... Apakah memikirkan hal-hal seperti ini merupakan sesuatu yang normal?
Pikiranku, diriku, hidupku... semuanya tiba-tiba terasa semu. Di saat yang sama, aku juga menyadari bahwa ini merupakan suatu kesalahan—kesalahan besar. Di saat seharusnya aku merasa bahagia, aku justru membuang-buang waktu untuk memikirkan hal-hal yang merenggutnya.
Bodohnya aku.
Kuharap kalian tak melakukan hal itu.
»©»©»©»
Did you enjoy chapter 39 of VISIBLE 2?
Beri dukungan terhadap penulis dengan cara follow Wattpad: Ensatrixie, klik tanda bintang (☆) di bawah, bantu mempromosikancerita ini di medsos atau kepada teman-teman kalian 💕
*Cerita ini merupakan karya original yang memiliki HAK CIPTA dan dilindungi oleh Undang-Undang. Di larang keras untuk mengkopi atau menerbitkan tanpa seizin penulis.
Thank you so much for your support and attention!
Love,Ensatrixie (IG), xoxo.
- Bersambung -
KAMU SEDANG MEMBACA
Books #1-3: The VISIBLE Series (Wattpad Books Edition)
HorrorBerdasarkan KISAH NYATA. - VISIBLE 1 (1997-2002): Horror - Mystery ✔ - VISIBLE 2 (2002-2005): Horror - Mystery ➡ Ongoing - VISIBLE 3 (2006-2007): Horror - Mystery ➡ Coming up in December 2021. Ps: New Versions!