48

44 11 26
                                    

Vino segera bergegas menuju ruang inap Leo. Saat tiba di ruang inap Leo, Vino melihat Ina yang sedang tertidur di kursi sebelah brankar Leo. Vino melangkahkan kakinya mendekat ke arah Leo.

Ina yang terbangun dari tidurnya segera menyadari kedatangan Vino.

"Eh bang Vino maaf tadi Vina ketiduran," ucap Ina merasa bersalah.

Vino mengangguk dan tersenyum tipis sebagai jawaban.

"Ya ampun tangannya bang Vino luka, Vina panggilin dokter ya bang. Abang di sini aja!" Ina segera bergegas keluar memanggil dokter.

"Nggak usah," ucap Vino menghentikan langkah Ina diambang pintu. Pandangan Vino tetap mengarah ke arah Leo.

"Tapi,"

"Leo sudah sadar?" tanya Vino mengalihkan pembicaraan.

"Su...sudah. Tapi tadi setelah sadar Yoyo berontak lagi pengen bunuh diri jadinya Yoyo diberi obat penenang," jelas Ina sambil menundukkan kepalanya. Vino menoleh ke arah Ina sekilas yang masih berdiri di depan pintu. Vino menghela nafasnya panjang.

"Gue lapar, tolong belikan gue makanan ya Na?" pinta Vino pada Ina.

"Iya bang. Kalau begitu Ina pamit keluar dulu," pamit Ina.

Tanpa menjawab perkataan Ina, Vino memandang wajah Leo lekat dan kemudian pandangannya jatuh pada perban di pergelangan tangan kiri Leo. Seketika rasa bersalah kembali memenuhi dirinya. Vino merasa dia bukan kakak yang baik buat Leo apalagi leader untuk Crows. Semua berantakan. Semua sudah berakhir!

Satu, dua bulir air mata yang sedari tadi ditahannya kini meluncur dengan bebas menuruni kedua pipinya. Vino benar-benar lelah lahir batin, jiwa raga dan bahkan pikirannya sudah kacau. Hanya ada rasa bersalah yang sekarang menumpuk di dirinya. Ini memang bukan salah Vino namun hanya saja jika dia bisa lebih memperhatikan adiknya dan Crows mungkin keadaannya tidak separah ini. Semua masalah yang dihadapinya saat ini benar-benar membuat kepalanya pecah. Vino sama sekali belum bisa mencari solusi untuk permasalahannya. Baru saja dia ingin menyelesaikan satu masalah, muncul masalah lain. Vino merasa semua masalah ini tidak ada habisnya.

"Bang," panggil Leo pelan.

Vino menolehkan wajahnya ke arah Leo.

"Lo sudah sadar? Lo nggak papa?" tanya Vino perhatian.

"Lo nangis?" tanya Leo pelan dan sekarang air mata Leo ikut mengalir saat melihat keadaan abangnya yang tampak berantakan dan banyak pikiran.

"Iya. Lucu nggak kalau gue nangis?" canda Vino dengan senyum yang jelas sekali dipaksakan untuk menutupi kesedihan.

"Lucu apanya? Lo kan nggak pernah nangis, masa sekarang lo nangis. Cemen lo bang kayak anak kecil hahaha." Sama dengan Vino, Leo juga berusaha menutupi kesedihannya. Melihat keadaan abangnya yang sekarang, Leo rasa yang dibutuhkan Vino hanya kekuatan dan senyuman bukan kesedihan, kesedihan hanya akan membuat abangnya terpuruk lebih dalam.

"Lo merasa punya nyawa kayak kucing ya mangkanya mencoba bunuh diri?" tanya Vino diselingi senyum lebarnya.

Saat ini Leo juga rapuh sama sepertinya. Mungkin memarahinya bukan solusinya, jadi Vino mencoba bertanya dengan diselingi candaan.

"Gue rasa iya deh bang. Soalnya gue sudah mencoba memotong nadi gue tapi malah ditolongin Ina. Jadinya gue nggak jadi mati. Mungkin nyawa gue memang ada tujuh kayak kucing," ucap Leo sambil tertawa terbahak-bahak dengan air mata yang mengalir disudut matanya.

"Nggak lucu sumpah," komen Vino yang juga ikut meneteskan air mata.

"Lo ketawa dong bang biar gue nggak nangis. Elah nih air dari mana sih netes di pipi gue?"

Adios (Goodbye Sweet Heart)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang