001 - AIR TERJUN

2.4K 133 4
                                    

Budayakan vote sebelum baca.

Terima kasih.

Happy reading!

.

.

Udara dingin beraromakan wangi nan lembut dan diiringi alunan merdu penghuni kolam, membuat sebagian penghuni rumah ingin berlama-lama di pinggir jendela, sembari menikmati minuman pun makanan yang menghangatkan tubuh.

Menghirup aroma tanah basah menjadi kesenangan sendiri bagi sebagian orang.

Termasuk Udelia —perempuan berambut hitam legam— sedang menikmati teh hangat di bawah rintik hujan dan menghidui tanah basah yang menenangkan jiwanya.

Beberapa saat kemudian, adik-adiknya masuk ke dalam kamarnya, memaksanya berhenti menikmati hujan.

Dua pria dewasa itu, satunya menutup jendela, satunya lagi membawa Udelia kembali berbaring di kasur dan menimbun selimut di atas tubuh kakaknya.

"Angin tidak bagus," ucap John, adik pertama Udelia, setelah menutup tirai jendela sempurna hingga tidak akan ada angin dingin yang menelusup masuk ke dalam kamar.

"Dingin, mbak." Lamont, adik kedua Udelia, mengganti teh kakak sulungnya dengan teh baru dari nampan yang dibawanya, usai meletakkan lima lapis selimut untuk menghangatkan kakaknya.

"Hei! Aku sudah sembuh!" sungut Udelia.

Udelia merenggut. Dia selalu saja diperlakukan seperti anak kecil oleh adik-adiknya, hanya karena dirinya jatuh koma akibat kelelahan bekerja.

Padahal dia sudah bangun dari koma tiga bulan yang lalu dan sudah kembali sehat tanpa sedikit pun kekurangan fungsi anggota tubuh.

"Kalian berdua, bawakan hidangan untuk tamu kita," perintah Watika, ibu mereka yang tiba-tiba muncul di depan pintu kamar sang anak tersulung.

"Baik, nyonya!" ucap John dan Lamont bersamaan.

Mereka melesat pergi menuju dapur.

"Nak Eva dan ...?"

Watika berbicara pada dua perempuan yang berdiri di sampingnya. Wanita itu membawa tamu yang hendak berjumpa dengan Udelia.

Dari pandangan Udelia, dua tamu itu terhalang tembok.

"Perkenalkan saya Dina, sepupu Eva," kata seorang perempuan berambut pendek.

"Ah iya. Nak Eva dan nak Dina datang berkunjung, nok. Silakan berbincang dengan santai." Watika mempersilakan keduanya untuk masuk ke kamar sang putri.

"Terima kasih bun," ucap Eva, teman sepermainan Udelia —yang merupakan kakak kelasnya saat di sekolah.

"Baik bu," sahut Dina.

Keduanya memasuki kamar, memunggungi Watika yang menatap nanar putrinya.

Beberapa kali Watika mendapati putrinya melamun tanpa jiwa, seolah dunia telah hancur.

Berbeda jika ada orang lain, Udelia akan tersenyum lebar bak tidak memiliki suatu beban apa pun.

Putrinya itu seperti menyembunyikan luka yang besar.

Watika ingin bertanya, tapi bibirnya kelu. Berharap kehadiran teman lama putrinya akan meringankan beban yang dipikul putrinya seorang diri.

Watika menarik kedua sudut bibirnya saat matanya bertemu dengan mata putrinya, kemudian dia meninggalkan Udelia bersama teman-temannya.

Di balik tembok dia mengusap rintik yang muncul pada wajahnya. Dia benar benar berharap putrinya dapat kembali beraktivitas seperti biasa.

Secara fisik putrinya sudah sembuh, secara mental belum sama sekali.

TIKZ 2 [Terlempar ke Zaman Keemasan]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang