"Ijen, aku ingin berganti pakaian."
Udelia tidak tahan dengan belitan di tubuhnya.
Untaian emas berbagai makna, melekat sempurna di tangan, kaki, leher, dan kepalanya. Dia memastikan tidak ada yang bergeser walau sedikit.
Sedang untaian melati, yang menghalangi pandangannya telah menghitam dan layu. Semerbaknya belum hilang, dia hanya tak suka pandangannya terus terhalang.
Udelia menunggu suaminya, sejak upacara suci selesai dilaksanakan.
Langit yang berwarna biru berubah redup, kemudian memerah, dan menggelap. Dia duduk diam menunggu sang suami, tanpa bantahan.
Sempat ia mendengar dari guru yang mengajarnya, perihal berbagai tugas mempelai di hari pernikahan.
Gurunya itu sedang fokus mengajarkan tugas-tugas mempelai wanita, lalu tiba-tiba berhenti. Ekspresinya sangat jelas. Terkejut diselipi raut takut. Dia lupa. Materi itu tidak diperbolehkan diungkit di depan murid khususnya, calon mempelai dari kepala keluarga Ekadanta.
Beberapa kali Udelia meminta calon suaminya, agar dia melakukan tugasnya. Suaminya mengiba, memohon padanya untuk diam di kamar.
Udelia tidak membantah. Keramaian tidak terlalu ia sukai. Suami pasti memintanya diam di kamar, karena memahami hal tersebut.
Seutas senyum terbit di bibir Udelia. Sebuah perhatian selalu dapat meluluhkannya. Rasanya dia sudah jatuh cinta pada suaminya sendiri.
Bulan semakin tinggi, tak tampak tanda-tanda pesta megah itu akan usai.
Udelia memilih mengganti pakaiannya dengan yang lebih layak. Dia pun ingin menyegarkan tubuhnya. Menyambut suaminya dengan bersih dan wangi.
Udelia menyiapkan sendiri pakaian gantinya. Hanya saja, setiap emas dan permata di tubuhnya, sulit untuk dilepas seorang diri. Udelia tidak mau merusaknya, walau barang sedikit.
Udelia membutuhkan orang untuk membantu melepaskan perhiasan-perhiasan itu.
"Kalau Anda adalah rakyat jelata, setidaknya bertahanlah dengan budaya yang ada," omel Ijen sembari menaruh camilan malam untuk istri majikannya.
Udelia tertawa dalam hati. Menyebutkan perihal budaya, seharusnya Udelia sedang menyambut tamu.
Candra Ekadanta, suaminya yang hangat itu, dalam sebentar Udelia dapat memahami suaminya bukanlah seorang yang penurut dalam melakukan budaya yang dianutnya.
Berkali-kali Candra mangkir dari budaya yang ada. Bahkan Udelia yang notabene orang luar, harus mengingatkan Candra akan budaya yang ada. Dia sempat mengusir Candra yang diam-diam minta berjumpa di malam hari, ketika mereka masih dipingit.
Udelia tidak takut dengan omelan orang lain. Dia sudah tidak tahan dengan berkilo-kilo emas di tubuhnya. Dia mungkin akan tumbang, bila Boco, kakek Candra, tidak mengajari beberapa hal tentang sihir memperkuat raga.
Sebagian besar emas di tubuh Udelia, bertahta di kepalanya. Jika dia terus berdiri sepanjang hari dan menyambut tamu di aula pesta, dia mungkin sekarang sedang berada di ruang perawatan.
Lagi, hati Udelia menghangat. Candra menyiapkan makanan dan camilan, menyuruh Udelia berbuka dari puasa mutih yang dijalaninya selama satu bulan penuh.
Pria itu melanggar adat, menyuruh sang pengantin makan terlebih dahulu, sebelum melayaninya sebagai seorang istri. Candra lebih mengkhawatirkan kesehatan Udelia daripada adat yang ada.
Diam-diam Candra menyuruh tangan kanannya, Ijen, untuk mengurus segala kebutuhan istrinya, terutama makanan yang ada.
Tak peduli meski di akhir nanti dia akan kena omel karena memberi makan istrinya sebelum waktunya dan membiarkan istrinya berganti pakaian sebelum dijamah olehnya.

KAMU SEDANG MEMBACA
TIKZ 2 [Terlempar ke Zaman Keemasan]
Historical Fiction⚠ Peringatan ⚠ Mengandung unsur 21+ Harap bijak dalam memilih bacaan. Dia terbangun dari komanya dan melupakan segala yang telah terjadi di sepanjang tidurnya. Dia lupa bahwa dia pernah berpindah ke zaman keemasan dan menjadi perempuan dengan deraja...