"Adik ipar, salam kenal. Saya Bayuaji Ekadanta. Kita akan sering bertemu di rumah peket ayahanda."
Rumah peket adalah rumah dinas yang diberikan pada para pejabat.
Rumah itu besar, namun tidak mampu menampung banyaknya jumlah keluarga Candraaji Ekadanta, ayah Candra Ekadanta dan ayah Bayuaji Ekadanta.
Aji memiliki seorang istri sah, beberapa selir, dan banyak gundik —yang dia beli dari pelelangan.
Dari mereka, hampir semuanya memiliki satu putri. Kecuali istri sahnya yang memiliki dua orang putra dan satu selirnya memiliki seorang putra.
Istri, para selir, dan para gundik Candraaji tidak memiliki rasa permusuhan. Mereka bahkan bersatu dan sama-sama satu suara tidak mau pindah, kecuali bila semua orang ikut pindah.
Tuti Ekadanta, istri Candraaji Ekadanta, yang notabene paling berhak tinggal di rumah peket, merupakan yang mengusulkan hal itu.
Dia tidak mau sebagian perempuan merasakan cinta dan kasih Aji, sedang yang lain tidak dan merasakan kesepian.
Mereka tinggal di rumah kepala keluarga, menunggu dan menyambut sang suami bersama-sama.
Baru setelah para gadis menikah dan posisi kepala keluarga dipegang Candra, Candraaji atau Aji membawa istri dan selir-selirnya ke rumah peket, menemani dirinya di hari tua dan pekerjaan yang terus bertambah.
"Salam kenal, kakak ipar. Saya Udelia, hanya seorang rakyat jelata."
"Jangan merendah seperti itu. Sekarang Anda sudah menjadi nyonya besar keluarga Ekadanta. Anda adalah kebanggaan Ekadanta. Kalau ada kesulitan bicarakan saja dengan saya."
"Terima kasih, kakak ipar. Mari." Udelia mengangkat gelasnya, bersulang teh hangat dengan kakak ipar yang baru ditemuinya. Saat upacara kemarin, dia hanya melihat sang kakak ipar dari kejauhan.
Udelia merasa beruntung. Keluarga Ekadanta tidak pernah memaksakan kehendak. Udelia yang tidak suka sebagian minuman dan makanan, para mertuanya tidak memiliki masalah.
Udelia adalah perempuan yang memperhatikan budaya dan adat. Dia tidak meninggalkan semua itu, ketika Candra abai dan malas melakukan semuanya.
Hanya beberapa makanan dan minuman, para wanita Aji tidak mempermasalahkannya bila sang menantu tidak ingin mengkonsumsinya.
Mereka justru bersyukur, Candra yang jarang terlihat dalam upacara-upacara adat, mulai menampakkan diri dengan rayuan Udelia.
Pria itu begitu penurut pada Udelia. Hanya bermodalkan pinta di kertas, Candra mengikuti serangkaian siraman pengantin yang semula dia tolak mentah-mentah.
"Silakan jika ada yang ingin ditanyakan," ucap Udelia membuka suara. Sebenarnya dia sedikit risih ditatap menelisik oleh kakak iparnya.
Bayu menyelidik Udelia. Wajah yang dikatakan mampu mematik perang, ternyata biasa-biasa saja. Udelia tidak cantik, seperti kebanyakan bangsawan yang biasa dilihat Bayu.
Bahkan wanita itu tidak peduli dengan penampilannya yang pucat. Tidak nampak satu pun riasan di wajah dan tubuh itu. Udelia menemui Bayu hanya berbalutkan kain mewah milik Ekadanta.
Namun wajah polos Udelia sangat teduh. Tanpa senyuman pun, adik iparnya itu seperti tidak memiliki emosi yang kotor.
Jiwanya nampak sesuci air.
Rasa jernih dan mensucikan ini, seperti ketika dia berhadapan dengan kakak sulungnya, Ekata Ekadanta, murid Petapa Agung yang setiap saat menebar berkat.
"Apakah harimau itu milikmu?" tanya Bayu pada akhirnya. Dia mencurigai identitas adik iparnya.
"Entahlah," gumam Udelia meletakkan gelas di meja.
KAMU SEDANG MEMBACA
TIKZ 2 [Terlempar ke Zaman Keemasan]
Historical Fiction⚠ Peringatan ⚠ Mengandung unsur 21+ Harap bijak dalam memilih bacaan. Dia terbangun dari komanya dan melupakan segala yang telah terjadi di sepanjang tidurnya. Dia lupa bahwa dia pernah berpindah ke zaman keemasan dan menjadi perempuan dengan deraja...