"Ibunda?!?"
Jari jemari lentik melepas kuas di tangannya, tinta dalam bulu kuas berceceran di atas kertas.
Putri Udelia dan Hayan, Maya Lopika Wijaya, telah tumbuh menjadi gadis yang cantik. Pelatihan nan ketat membuat tubuhnya semakin mengetat.
Maya berusaha keras untuk melampaui ibundanya ketika sang ibunda masih seusianya. Cibiran tak dia hiraukan, yang ia hiraukan adalah keselamatan sang ibunda.
Maya rela mati asalkan ibundanya tidak kesakitan. Siang malam tidak pernah Maya perhatikan. Setiap saat yang ada di pikirannya hanya berlatih dan berlatih.
Dia lulus dalam masa tiga tahun. Jarak antara kekuatannya dengan sang ibunda di masa usia tiga belas tahun, kian mendekat.
Maya harus mempertahankan kekuatannya setara dengan sang ibunda lalu melebihi sang ibunda saat masanya dia berumur lima belas tahun.
Maya tidak perlu melebihi kekuatan Udelia di masa sekarang. Dia hanya perlu melebihi kekuatan ibundanya yang telah ditempa oleh Petapa Agung.
Sebuah kemustahilan akan dia patahkan. Dia akan melebihi ibundanya. Setiap bidang dia ambil guru yang ahli. Bahkan sihir dia langsung belajar dari sumbernya, Candraaji Ekadanta.
Dia ingin belajar langsung dari Candra Ekadanta yang dikata kan lebih kuat dari ayah dan kakeknya. Sayangnya pria itu terus menolak. Maya rela pergi ke kediaman Ekadanta di daerah, tetap saja Candra menolak.
Maya masih ingat sekali saat berkujung ke rumah Ekadanta, dia kira semua akan berjalan lancar mengingat Candra adalah paman kesayangannya.
Sayangnya Candra menolak dengan dingin.
"Saya tidak bisa, Tuan Putri. Tolong jangan memaksa. Dan bukankah Anda ada di akademik? Kenapa Anda bisa berkeliaran?"
Sungguh Maya sangat tercengang dengan wajah datar Candra. Selama mengajarinya dasar- dasar sihir, tidak pernah Candra melepas senyuman dari wajahnya. Pria itu menolaknya dan mengusirnya secara halus.
"Jangan ceroboh!" tegur seorang pria. Dia menangkap tubuh Maya yang hampir terjungkal, akibat menginjak kain jarik yang dikenakannya.
"Gagak Catra, kembalilah! Kita ini akan dipingit!" sungut Maya pada calon mempelainya.
Umur mereka sudah sangat cukup untuk menikah. Mereka akan melangsungkan pernikahan beberapa bulan kemudian.
"Masih ada waktu tiga pekan, Tuan Putriku." Putra dari Netarja Wijaya itu mengulas senyum.
Sejenak Maya memikirkan ucapan calon suaminya. Waktu mulai pingitan mereka memang baru akan dimulai setengah bulan lagi.
"Begitukah?" gumam Maya.
"Itu sebabnya saya menemani Anda bekerja."
"Kalau begitu, ingin bertemu ibunda?" ajak Maya.
Belum sempat Gagak menjawab, Maya menyeret lengannya. Gagak patuh berjalan di sisi sang Tuan Putri.
"Anda terlihat sangat senang," ucap Gagak bingung.
Setahunya Maharani selalu berkata ketus pada Tuan Putri. Bahkan ketika dia menemani calon istrinya untuk meminta restu pada Maharani, Maharani tidak menyaring ucapannya.
"Nikah ... ataupun ... mati ... tidak ada sangkut pautnya denganku."
Saat itu Maya tersenyum kecut. Gagak sendiri bingung dengan yang terjadi. Maya selalu bercerita tentang kebaikan-kebaikan ibundanya. Tapi sikap Maharani kebalikan dari cerita Maya.
Gagak berpikir Maya hanya menghibur diri dengan menceritakan sosok ibu yang baik di alam khayalnya. Wajah Maya selalu datar dan sesekali tersenyum kecut, tiap ada yang membahas Maharani.
KAMU SEDANG MEMBACA
TIKZ 2 [Terlempar ke Zaman Keemasan]
Historical Fiction⚠ Peringatan ⚠ Mengandung unsur 21+ Harap bijak dalam memilih bacaan. Dia terbangun dari komanya dan melupakan segala yang telah terjadi di sepanjang tidurnya. Dia lupa bahwa dia pernah berpindah ke zaman keemasan dan menjadi perempuan dengan deraja...