"Kak, bangunlah."
Sepasang bibir berwarna merah muda, tanpa pewarna, berbisik di depan telinga Udelia. Gadis itu membuka matanya. Dua netranya berkeliling memindai sekitar.
Suasananya sangat asing. Dia bahkan asing dengan dirinya sendiri. Dia menatap bingung orang yang sedang memapah tubuhnya.
Candra menyodorkan semangkuk obat. Perempuan yang ada di lengannya langsung membuka mulut dan menghabiskan obat yang dibawanya.
Selalu begitu. Obat yang dibawanya selalu habis. Tidak pernah tersisa, meski hanya setetes. Perempuan itu begitu percaya padanya.
"Pintar sekali," puji Candra. Bibirnya mendekat, hendak mengecup leher jenjang yang terpampang di matanya. Namun dia mengurungkan niatnya. Wanita di dekapannya, terlalu terhormat untuk di nodai.
"I..ni di mana?"
Udelia tak sanggup berucap. Berhari-hari sudah ia tersadar, namun lisannya masih saja kelu. Tidak mampu berkata-kata.
Indra penglihatan masih mengelilingi sekitar. Memindai dan mencoba mengingat. Dia asing dengan tempat yang sedang ditinggalinya.
"Istirahatlah dengan tenang. Tidak perlu memikirkan hal lain."
Candra membaringkan Udelia ke posisi yang nyaman. Dia meninggalkan perempuan di sebuah kamar yang lumayan besarnya.
Candra memasuki kamarnya sendiri, dia memasukkan beberapa barang ke dalam tas pinggang miliknya. Dia bergegas pergi, melintasi ruang tamu dengan tas yang terpasang rapi di pinggangnya.
"Kamu akan pulang, cu?" tanya Boco. Pria tua itu sedang menikmati secangkir secang dan singkong rebus sebagai camilan. Matanya melirik tas yang sudah terpasang rapi di pinggang cucunya.
"Iya, mbah. Beberapa hari ini aku tidak akan kembali. Mohon jagalah kakak."
"Tenang saja. Akan kujaga calonmu itu!"
Meski tidak menceritakan penyebab luka di tubuh Udelia, Candra mengatakan Udelia adalah kekasihnya.
Jadi Boco merasa ikut bertanggung jawab menyembuhkan Udelia, hingga pulih kembali seperti sedia kala dan dapat beraktivitas seperti biasnaya.
Dalam diam Candra menatap gubuk reyot yang akan ditinggalkannya. Berat hatinya meninggalkan Udelia di sisi sang kakek.
Kakeknya mungkin merasa bertanggung jawab atas kesmbuhan Udelia. Tapi jika Udelia telah sembuh, kakeknya bisa-bisa menekan perempuan itu dengan berbagai ujian.
Selalu saja kakeknya bersikap keras pada setiap calon cucu menantu, yang hendak menjadi pasangan cucunya. Candra melihat sendiri betapa banyak iparnya kewalahan menghadapi ujian-ujian kakeknya.
Sementara dari tubuh Udelia, Candra tidak merasakan ada kekuatan di dalam tubuh itu. Tidak ada kekuatan besar, seperti saat perempuan itu berada di raga Idaline. Seolah raga asli milik Udelia, sama sekali tidak memiliki kekuatan.
Ujian kakeknya sangat gila. Bisa-bisa tak selamat bila tak memiliki kekuatan yang sepadan untuk mengikuti ujian kakeknya.
Sekuat tenaga Candra memacu kudanya, agar sampai keraton tepat waktu dan supaya dia dapat kembali pulang lebih cepat dari janjinya.
***
"Anda selalu terlambat akhir-akhir ini," tegur Indra begitu Candra sampai di ruang keamanan. Sebagai penyihir paling kuat seantero Bhumi Maja, Candra ditempatkan bersama Indra.
"Saya datang tepat waktu," balas Candra. Di mejanya berserakan banyak kertas dan tinta. Pengetatan keamanan ibu kota kali ini melibatkan seluruh elemen.

KAMU SEDANG MEMBACA
TIKZ 2 [Terlempar ke Zaman Keemasan]
Historical Fiction⚠ Peringatan ⚠ Mengandung unsur 21+ Harap bijak dalam memilih bacaan. Dia terbangun dari komanya dan melupakan segala yang telah terjadi di sepanjang tidurnya. Dia lupa bahwa dia pernah berpindah ke zaman keemasan dan menjadi perempuan dengan deraja...