"Ayahanda, ikut."
Rama merengek ikut ketika dua bola matanya memergoki sang ayahanda sedang memakai perlengkapan naik gunung.
Di wilayah Ekadanta, Rama sering ikut ke hutan sejak mulai berjalan. Auman harimau atau desisan ular sudah biasa didengarnya.
"Rama di sini saja jaga ibunda ya."
Candra mencoba memberikan pengertian. Hutan di Watek Batako telah dipagari oleh sihir. Hutan di bukit Napa masih liar. Tumbuhan dan hewan berbahaya tersebar di tiap sisinya.
Terlintas dalam benak Rama kondisi ibunya yang gawat. Dia mengangguk patuh. Kaki kecilnya berjalan masuk ke kamar dengan wajah cemberut.
Matanya membola melihat ibundanya tidak ada di kasur. Dia sudah diwanti-wanti agar sang bunda harus tetap di kasur.
"Ibun... da! Jan jalan."
Rama menarik Udelia yang berdiri dari kasurnya. Perempuan itu sedang menimang-nimang sang adinda.
Udelia menunduk, menurunkan Raka ke ranjang kecil. Rama terus saja meminta dirinya untuk rebahan di kasur.
"Iya Rama sayang. Ayo tidur siang," ajak Udelia memaksakan senyumnya.
Dengan menahan sakit, Udelia menggendong Rama ke ranjang. Udelia tidak mau salah satu anaknya cemburu karena tidak digendong juga. Udelia membaringkan Rama dan ikut naik ke ranjang.
Rama memeluk erat ibundanya yang berbaring di sisinya. Dia rindu tidur bersama ibundanya. Dalam setengah bulan, dia terus saja tidur sendiri.
"Anakku yang tampan tidurlah.. Malam telah larut.. Kudo'akan hidup dengan mulia.. Jadilah orang yang mengutamakan orangtua.. Jadilah ksatria yang agung.. Lindungi adikmu.. Lindungi negerimu.. Tidurlah sayangku.. Malam telah larut."
Udelia bersenandung sembari mengipas-ngipaskan tubuh Rama agar nyaman. Di tempat itu tidak ada kipas sihir yang mampu memberikan angin tanpa perlu digerakkan oleh tangan
"Nda, ini siang," koreksi Rama menatap wajah ibundanya. Mata bulat itu penuh dengan rasa protes.
"Tidurlah sayangku.. Siang telah datang..," ulang Udelia mengoreksi ucapannya.
"Tidurlah sayangku.. Persiapkan diri menyambut hari yang panjang.. Kudo'akan hidup dengan mulia.. Semua mimpimu tercapai.. Tidurlah sayangku.. Capailah kedamaian.."
Udelia meletakkan kipasnya, jatuh tertidur bersama Rama yang sudah jauh terlelap. Mereka saling berpelukan di dalam tidur.
"Dalam keadaan seperti ini, kamu bisa tenang. Memang Maharaniku."
Sesosok pria, Nirankara Hayan Wijaya, muncul dalam kamar Udelia. Dia pandangi sosok wanita yang nampak sangat damai dalam tidurnya.
Pria bergelar Maharaja itu mengusap pipi Udelia yang terlelap, kemudian menggenggam erat tangan Udelia yang memeluk erat Rama.
Berkali-kali dia kecup punggung tangan yang memiliki bekas luka serupa bulatan.
Hayan memandang sendu bekas luka yang tak hilang di tangan wanita tercintanya. Sesal selalu hadir tiap kali memandangi luka yang tercetak oleh bawahannya.
Dia telah lalai.
"Uhhh.. ayanda?"
Rama menggeliat ketika pelukan ibundanya terlepas. Matanya mengerjap. Rama melihat siulet pria yang membelakangi sinar matahari.
Udelia membiarkan jendela terbuka, agar sirkulasi udara di kamar kecil itu tidak terhambat dan tidak membuat suasana menjadi pengap.
Rama mengenali sosok yang remang itu. Itu adalah pria dewasa kesukaannya. Pria yang selalu membuatnya nyaman, selain Candra ayahandanya.

KAMU SEDANG MEMBACA
TIKZ 2 [Terlempar ke Zaman Keemasan]
Historical Fiction⚠ Peringatan ⚠ Mengandung unsur 21+ Harap bijak dalam memilih bacaan. Dia terbangun dari komanya dan melupakan segala yang telah terjadi di sepanjang tidurnya. Dia lupa bahwa dia pernah berpindah ke zaman keemasan dan menjadi perempuan dengan deraja...