Udelia duduk dengan kaku di ruang tamu rumah Mbah Gedhe, kakek Eva dan Dina. Seorang kakek yang tak kunjung dinyatakan meninggal, meski telah menghilang belasan tahun lalu.
Hari ini Udelia hanya berdua saja dengan Dina, karena Eva mendapatkan panggilan kerja di luar kota.
Udelia teringat lagi pesan Eva yang baru sampai di ponselnya, sesaat setelah dia berada di rumah yang dijanjikan.
[De' Liiiiiii aku ada panggilan kerja urgent!! Maaf banget aku ngga bisa ikut. Maaf ya. Maaaaaf. Sebagai gantinya akan kutraktir! Pergilah bersama mba Dina, dia tau tempat-tempat bagus. Sekali lagi maaf de' Li! :')]
"De' Li bisa ke sini sebentar?" teriak Dina dari dalam gudang.
"Mba Dina lagi beres-beres?" tanya Udelia berdiri di depan gudang yang terbuka lebar. Dia yakin tidak salah tanggal waktu keberangkatan mereka ke tempat liburan.
Tapi kakak sepupu temannya ini, justru membuka gudang dan melepas kain penutup barang-barang yang tersusun rapi.
Seperti hendak melakukan pindahan atau membersihkan barang barang di gudang.
"Aku ingin membawa guci ini, bisa bantu bawakan? Harus hati-hati karena sudah ratusan tahun."
Orang tua Dina berada di Magelang, Udelia mengetahuinya saat menstalking sosial media Dina, guna mengembalikan ingatan yang dikatakan Dina, karena tidak nampak kebohongan dari mata dan gerak-gerik Dina.
Walau pada akhirnya dia tetap tidak ingat semua yang disinggung Dina, Udelia melihat sosial media Dina sampai ke akarnya.
Jadi saat ini, benar-benar hanya ada mereka berdua di rumah Mbah Gedhe dan tidak ada orang lain yang akan membantu mereka.
Udelia menatap guci berwarna cokelat dan putih setinggi perutnya, lengkap dengan tutup yang berwarna senada.
Tangan Udelia berkeringat ketika akan menyentuh benda berharga itu.
Benda itu bukan hanya sebuah barang yang ditinggalkan dan dijaga secara turun temurun.
Guci cokelat dengan corak bunga wijayakusuma berwarna putih, merupakan pemberian salah satu raja besar yang terkenal.
Mirip seperti guci yang pernah diteliti Udelia dan timnya, untuk keperluan perusahaan.
Dengan pengalaman selama bertahun-tahun dalam penelitian benda-benda kuno, dalam sekali lihat Udelia dapat memastikan keasliannya.
"Ga bisa mba. Tanganku gemeter, takut banget jatuh," tolak Udelia menarik tangannya, agar tidak menggores benda bersejarah itu.
"Kayanya memang berat jika berdua doang. Kalau guci di sana bagaimana? Aku akan membawa benda yang lain." Dina menunjuk guci kecil berwarna merah tanah, lalu dia mengangkat gerabah yang lain.
"Baik, mba."
Setelah meletakkan beberapa gerabah di bagian belakang mobil, Dina dan Udelia berangkat menuju air terjun Sekar Langit tanpa berhenti di tengah jalan.
Mereka baru menghentikan perjalanan di salah satu rumah milik Dina, yang terletak di dekat Sekar Langit.
Dina adalah pekerja sukses di sebuah perusahaan besar.
Selain membuat usahanya sendiri, uang-uang yang Dina dapatkan tidak dihabiskan untuk sekadar foya-foya atau belanja tak bermakna.
Dina akan membeli barang terbaik, untuk sebuah barang yang dibutuhkannya, agar tidak perlu beli berulang kali karena kualitas yang buruk.
Selebihnya Dina membeli rumah di tempat-tempat yang memiliki mitos terkenal.
Dina bercerita pada Udelia, bahwa bisa jadi salah satu dari tempat-tempat itu akan menjadi pintu ke dunia lain, bagi orang yang baru belajar ilmu ghaib.
KAMU SEDANG MEMBACA
TIKZ 2 [Terlempar ke Zaman Keemasan]
Historical Fiction⚠ Peringatan ⚠ Mengandung unsur 21+ Harap bijak dalam memilih bacaan. Dia terbangun dari komanya dan melupakan segala yang telah terjadi di sepanjang tidurnya. Dia lupa bahwa dia pernah berpindah ke zaman keemasan dan menjadi perempuan dengan deraja...