Maya menatap lurus kota yang tak asing baginya.
Batu bata merah darah, menjadi bahan utama bangunan-bangunan di sana. Kota paling ramai dan paling sibuk, di antara kota-kota besar di kepulauan ini.
Kota ini sama sekali tidak ada perubahan dengan yang ada di dalam ingatan Maya, setelah tiga bulan Mayameninggalkannya.
Di dalam bangunan ramai, orang keluar masuk dan di setiap sudut jalan padat, orang beraktivitas.
"Trowu," gumam Maya.
Kakinya berpijak di bukit buatan ayahandanya. Bukit buatan bernama Idak.
Dari bukit Idak, seluruh penjuru ibu kota Bhumi Maja dapat dilihat dengan mata telanjang.
Ini adalah tempat pengintaian yang bagus sekaligus berbahaya, karena begitu banyak jebakan yang dipasang di setiap jengkal tanah yang ada.
Tapi tentu ini bukan hal yang besar bagi murid Petapa Agung, yang juga Maharani terdahulu.
Titik-titik jebakan sangat tepat ditebak Udelia.
Maya, Udelia, dan rombongan Kelimutu telah melakukan perjalanan panjang selama satu bulan penuh.
Mereka hanya menggunakan kaki dan perahu untuk sampai ke tempat yang jauh ini.
Kantung mata Maya membesar. Gadis itu tidak ingin kehilangan momen dengan ibundanya, walau sekejap mata.
Maya terus menerus terjaga. Dia bahkan memandangi ibundanya yang bergabung di sisi rombongan Kelimutu, ketika telah memastikan dirinya terlelap.
Nyatanya dia tidak terlelap, dia pura-pura terlelap. Dari kejauhan, dia menatap ibunda dalam diam.
Perkataan ibundanya selalu mengganggu Maya. Dia bukan anak polos yang tidak memahami makna tersirat dalam perkataan ibundanya.
Maya melirik ibundanya yang berusaha keras menutupi lelah di wajahnya, sayangnya bibir pucat di wajah itu sering kali menguap dan tidak dapat membohongi Maya, bahwa Udelia juga sangat lelah dan letih.
"Kami akan berangkat. Berhati-hatilah," ucap Lowo kemudian meloncat keluar dari bukit Idak, yang lebih sering dijuluki sebagai bukit jebakan.
Rombongan Kelimutu akan menunggu di bukit Napa sesuai rencana yang disusun, tepatnya rencana yang dibuat oleh Udelia.
Udelia dan Maya melanjutkan perjalanan. Bukit Idak berada di perbatasan ibu kota, yang menerobos langsung jalur pemeriksaan ketat di pintu masuk ibu kota.
Rombongan Kelimutu pergi ke jalur keluar. Udelia dan Maya memasuki ibu kota, mereka berbaur bersama kesibukan di pusat Bhumi Maja.
Pasangan ibu dan anak itu berbelanja bermacam-macam barang dengan hati yang riang. Mereka menghabiskan seluruh uang yang ada di tangan.
Maya sedikit tidak mengerti tentang harga pasar dan kualitas barang, tapi dia tahu ibundanya sangat luar biasa dalam memilih barang.
"Barang-barang sebagus ini hanya didapat dengan beberapa perak!" takjub Maya.
Biasanya sekantong emas tidak cukup untuk membuat satu jarik koleksinya. Ibundanya justru dapat membeli satu set pakaian beserta perhiasan yang indah, meski bukan terbuat dari emas.
Udelia mengambil smartphone yang telah dia isi daya pada powerbank. Ibu jarinya menekan tombol power dan ponsel yang dibiarkan mati itu menyala dengan normal.
Udelia menggulir layar ponsel hingga menemukan ikon lensa berwarna abu-abu. Dia memijitnya, kemudian layar ponsel dipenuhi sebuah aplikasi penangkap gambar, kamera.
KAMU SEDANG MEMBACA
TIKZ 2 [Terlempar ke Zaman Keemasan]
Historical Fiction⚠ Peringatan ⚠ Mengandung unsur 21+ Harap bijak dalam memilih bacaan. Dia terbangun dari komanya dan melupakan segala yang telah terjadi di sepanjang tidurnya. Dia lupa bahwa dia pernah berpindah ke zaman keemasan dan menjadi perempuan dengan deraja...