"Saya tidak tahu kalau Tuan Mahapatih senang menculik istri orang. Padahal raja kedua Anda musnahkan karena senang bermain dengan istri-istri pejabat," cibir Candra.
"Jangan berbicara ngawur, Tuan Ekadanta," balas Djahan.
Candra memutar bola matanya jengah. Apa pun alasannya, Sang Mahapatih sudah membawa istrinya pergi.
"Beri tahu Nyonya, kepala keluarga Ekadanta berkunjung."
Seorang dayang bergegas pergi memberikan kabar pada Udelia.
"Nyonya, kepala keluarga Ekadanta datang."
Udelia mengangguk dengan semangat. Dia sudah merindukan putra sulungnya, anak kedua yang telah dia lahirkan ke dunia.
"Ibunda.." Rama berhambur mendekati Udelia sambil membawa cokelat di tangannya.
"Kat," terang Rama menyodorkan satu batang cokelat pada Udelia.
"Terima kasih, sayangku." Udelia menerima cokelat di tangan mungil putranya lalu mencium pipi Rama dan menggendongnya untuk duduk bersama Djahan dan yang lainnya.
Suara air dituang ke gelas-gelas kosong memecahkan keheningan. Aroma menenangkan menguar di ruangan itu.
Para dayang dan pelayan yang membawa makanan, mundur teratur keluar dari ruangan. Meninggalkan majikannya dan para tamu.
Udelia mempersilakan dengan tangannya lalu mengangkat gelas, mendahului minum daripada yang lain. Bisa habis waktu bila mereka terus saja berdiam-diaman.
"Kak, Udelia, kamu masihlah istriku dan aku suamimu. Mari pulang dan patuhlah." Candra berkata dengan suara tegas.
"Candra, aku ingin bercerai," lontar Udelia.
"Kenapa? Apa aku berbuat salah pada kakak?"
Udelia menaikkan alisnya. Terheran dengan pertanyaan Candra.
"Kamu bertanya??" ucap Udelia dengan nada tak percaya.
"Aku akan berpisah dengan Triya Wistara."
Udelia mendengus. Pria itu masih saja belum berpisah. Akan dan akan, janji dan janji, yang terus diberikan Candra.
"Aku minta maaf telah membuat kakak lupa, kembalilah lalu kita mulai lembaran baru."
"Tehnya mengandung gula. Jahe saja," sela Djahan mengganti gelas di tangan Udelia. Dia tahu, Udelia telah makan banyak manisan malam tadi.
"Terima kasih."
"Tidak perlu sungkan." Djahan mengelus pipi Udelia dan mencium pipi tembam itu.
Candra mendelik tajam. Mahapatih terlalu berani. "Istriku.."
"Dalam arsip pernikahan, pasanganku adalah Udelia, Tuan Ekadanta."
"Istriku juga Udelia," balas Candra tak mau kalah.
"Kalian memperebutkan saat tahu aku pernah jadi Idaline. Ketika tidak tahu, kalian acungkan senjata," cibir Udelia sembari meletakkan gelas. Ia mengusap wajah Rama yang belepotan oleh cokelat.
Mendadak Candra dan Djahan terbungkam. Candra sungguh tak tahu rupa asli Udelia. Sementara Djahan tidak mengenali Udelia yang telah babak belur, dia pun samar-samar lupa lupa ingat karena hanya melihat dari lukisan.
Lukisan yang telah tertutupi kain putih agar tidak terlalu berharap.
"Candra, aku takut bersamamu. Tapi jika Djahan tidak menyukai keberadaanku atau merasa terganggu, aku akan keluar."
"Kamu tidak menggangguku." Djahan menggendong Rama yang terus menguap masuk ke dalam kamar.
"Yah?" panggil Rama.
KAMU SEDANG MEMBACA
TIKZ 2 [Terlempar ke Zaman Keemasan]
Fiksi Sejarah⚠ Peringatan ⚠ Mengandung unsur 21+ Harap bijak dalam memilih bacaan. Dia terbangun dari komanya dan melupakan segala yang telah terjadi di sepanjang tidurnya. Dia lupa bahwa dia pernah berpindah ke zaman keemasan dan menjadi perempuan dengan deraja...