009 - MANDI AIR YANG SANGAT DINGIN

332 43 0
                                    

Rombongan yang terdiri dari lima orang laki-laki dan dua orang perempuan telah melewati delapan desa yang indah.

Selama lima hari perjalanan, mereka berjalan kaki. Sesekali mereka menaiki kendaraan, bila jalannya memungkinkan dilewati kendaraan beroda.

Kali ini langkah kaki mereka menapaki jalan yang membelah dua gunung, yang sedang terlelap—tak membahayakan manusia dan alam sekitar.

Lowo, terlebih Reo, mengawasi rombongan dari belakang dengan jantung yang bertalu-talu. Mereka khawatir sedang masuk dalam jebakan yang dibuat orang-orang Maja.

Mereka masih memiliki kewarasan untuk mempertahankan nyawa mereka, bila sewaktu-waktu dewi mereka menunjukkan jalan menuju neraka.

Mending kalau langsung dibunuh, kalau disiksa terlebih dahulu?

Lowo dan Reo tidak bisa membayangkan kengerian yang akan dilakukan penguasa Bhumi Maja andaikata ketahuan telah menculik Tuan Putri Maya Lopika Wijaya.

Semua kecurigaan mereka musnah kala dihadapkan dengan kesunyian yang mententramkan.

Di depan mereka, membentang danau luas yang belum mereka ketahui keberadaannya.

Padahal mereka penduduk asli pulau ini.

Danau itu sangat jernih, pantulannya bak cermin yang bersih. Kesunyiannya sesekali pecah oleh suara nyanyian burung, menambah damai hati setiap orang yang berada di pinggir danau.

Danau Rana Mese.

Artinya danau yang luas.

"Dia tahu tempat tersembunyi seperti ini," gumam Mondho yang berjalan di belakang Udelia dan Maya.

Mereka berhenti di barat danau, mengisi air dalam botol minum dan menyimpannya ke dalam tas.

Udelia menampung air di tangannya lalu memberikan air itu pada Maya yang tak sampai ke sumber mata air.

Maya masih terlalu kecil dan pendek untuk menjangkau pancuran mata air di tengah kubangan, yang membentuk sebuah danau kecil yang terpisah dari Danau Rana Mese.

Maya menyesap air dari tangan yang nampak kasar akibat luka-luka yang baru kering. Dia tidak jijik. Dia justru memejamkan matanya menikmati segarnya air yang diambil langsung dari mata air.

Udelia membersihkan sisa air yang menempel di sudut bibir Maya lalu membiarkannya duduk dengan tenang, sementara dia menampung air dalam botol minum agar tidak bolak balik saat bersantai.

Maya menatap ngeri danau yang baru dia lihat seluas itu. Jika dia tak tahu itu danau, mungkin dia akan menyebutnya sebagai lautan. Belum lagi dasarnya tak terlihat. Dia tidak tahu seberapa dalam danau itu.

"Tuan putri tidak bisa berenang?" tanya Udelia melihat putri kecil menggemaskan itu gemetaran melihat air yang dalam.

Di sebelah Udelia, Maya memakai baju baru yang dibeli di desa yang mereka singgahi.

Dengan uang ucapan terima kasih dari kepala suku yang dititipkan pada Lowo, Udelia tidak perlu memikirkan uang selama beberapa tahun ke depan.

Setidaknya sebagai rakyat jelata.

Malu-malu Maya menjawab pertanyaan Udelia dengan sebuah anggukkan.

Aib ini pasti membuat malu penduduk Bhumi Maja bila mereka mendengarnya.

Sebab kedua orang tuanya sudah menjadi orang besar di usianya sekarang, sedangkan dia malah mempunyai segudang kekurangan.

Untuk sepadan dengan kekuatan orang tuanya di usia ini, Maya yakin perlu beberapa tahun ke depan. Sedangkan semakin bertambah usia, kedua orang tuanya semakin luar biasa.

TIKZ 2 [Terlempar ke Zaman Keemasan]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang