015 - SEMUANYA TIDAK ADA YANG BERUBAH

176 35 2
                                    

Pohon-pohon yang tinggi menjulang, memenuhi sisi kanan dan kiri jalan yang dilalui Udelia dan Maya.

Mereka berjalan dengan lenggang menuju kediaman para menteri.

Rakyat jelata masih diperbolehkan masuk ke wilayah kediaman para menteri, asalkan tidak mendekati tembok keraton yang jaraknya dua sampai tiga ratus meter dari rumah para menteri yang mengitari keraton Bhumi Maja.

Pengawal gapura tetap menatap curiga kereta kuda tua yang berhenti di depan mereka.

Jika ada rakyat jelata yang hendak berurusan dengan tuan mereka, orang-organ berkasta rendah itu harus melewati gerbang timur —yang terdapat sebuah bangunan kerja para pegawai.

Rakyat jelata diharuskan melapor ke sana, untuk dipilah dan dipilih, antara masalah yang perlu ditangani tuan mereka dan yang tidak perlu.

Bukannya datang ke gerbang utama, bak seorang tamu yang penting.

Dari kereta yang kasar dan sedikit reyot, turun seorang perempuan yang wajahnya biasa-biasa saja.

Perempuan itu mengulurkan tangannya, membantu perempuan lain yang lebih berisi dan lebih pendek, turun dari kereta kuda.

Perempuan yang bertubuh gendut, memakai kain penutup wajah, semakin menambah curiga orang-orang yang melihat mereka.

Mata Udelia berbinar takjub. Taman seribu warna yang dirancangnya, masih dirawat dengan baik.

Bahkan kursi kayu —tempat bersejarah bagi dirinya dan suaminya, masih berdiri kokoh di tengah taman.

Dua pengawal penjaga gapura memutar bola matanya jengah. Perempuan jelata di depan mereka, melihat taman saja sudah berbinar matanya.

Mereka yakin, jika masuk ke dalam bangunan dan melihat indahnya interior ruangan, orang-orang ini akan menggila.

Berteriak-teriak tidak jelas, mengkhayalkan posisi yang tinggi, atau bahkan yang lebih parah, akan mengutil hiasan-hiasan yang menempel di dinding.

"Ada apa?" ketus penjaga pintu. Bersamaan dan ketus.

"Sampaikan pada Mahapatih, yang ditunggu sudah datang," kata Udelia tenang.

Saat ini dia bukan siapa-siapa, jadi tidak aneh apabila dia dicurigai. Dia tidak memasukkan ke dalam hati, ucapan ketus dua pengawal yang menjaga gapura.

Udelia tidak melihat wajah jengah para pengawal, dia masih sibuk memperhatikan halaman-halaman lain dari sudut pandangnya.

Semuanya tidak ada yang berubah. Bahkan pohon mangga kesukaannya, masih berdiri tegak di samping aula kediaman Sang Mahapatih.

Udelia sangat senang. Jika dapat melihat suaminya saat ini juga, dia akan memberikan kecupan mesra.

"Kami sudah mendengarnya ribuan kali!" sahut malas salah satu pengawal yang sudah jengah melihat rakyat jelata di depannya mengintip keindahan rumah peket Mahapatih.

"Kalian akan menyesal–"

"Kalau tidak melaporkan," potong pengawal. "Kalian berdua adalah gadis muda, yang memiliki masa depan yang cerah. Pergilah sebelum kami gerah."

"Ya, benar. Pergilah!"

Udelia menatap siluet orang yang berjalan jauh di belakang para pengawal. Orang itu mengenakan pakaian yang berbeda dari para penjaga gapura. Terlihat selintas berhenti memperhatikan gapura, lalu kembali berjalan dengan anggun.

Udelia memusatkan auranya. Dia mengeluarkan suara sambil menekan aura di sekitar —supaya terdengar dari jarak yang cukup jauh, tanpa perlu berteriak-teriak menghabiskan energi.

TIKZ 2 [Terlempar ke Zaman Keemasan]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang