013 - DIA BERSUMPAH DENGAN JIWA DAN RAGANYA

222 38 2
                                    

"Kalau Ibu Cempaka tidak pernah melakukan apa pun, tapi dia sering merendahkan ananda dengan lisannya di depan orang lain. Dia berkata seolah meninggikan ananda, nyatanya hanya ingin mencibir ananda dengan kelihaian mulutnya."

Maya masih mengadu. Dia mengadukan segala yang teringat di benaknya, sejak dia pertama kali mendapat perlakuan buruk di masa kanak-kanaknya dan terekam dalam memori otaknya.

Begitu banyak yang terjadi, bukan karena ayah-ayahnya yang tidak perhatian. Keputusannya yang tidak mau mengadu.

Keputusan itu muncul dari relung hatinya, untuk menyembunyian semua yang telah menimpanya. Maya tidak membenci ayahnya, pun ayahandanya.

Udelia mengusap pipi Maya. Air mata yang berderai ini, akan dia balas berkali-kali lipat pada mereka yang berani menganggu putrinya!

Dia bersumpah dengan jiwa dan raganya.

"Ratu tidak pernah menganggap ananda ada, semua acara wanita dihadiri dan digelarnya sendiri."

Maya mengepalkan tangannya. Padahal ibundanya adalah Maharani, kedudukan Maya lebih tinggi dari Ratu —yang tugas selama hidupnya hanya perlu menggelar pesta bagi istri-istri pejabat, di luar tugas melayani Maharaja di atas ranjang.

Tapi perempuan itu, sama sekali tidak menganggap Maya, apalagi melibatkan Maya dalam urusan pesta resmi ataupun pesta pribadi.

Orang-orang besar, semuanya ditangani oleh Ratu. Sedikit sekali yang mengenal dan dekat dengan Maya. Istri-istri orang besar yang berniat menjalin hubungan, selalu dihalangi oleh Ratu agar tidak mendekat pada Maya.

Keuntungan demi keuntungan didapat Ratu dari relasinya berkenalan dengan orang-orang besar dan berpengaruh di Bhumi Maja.

"Oh ... Maharani ... meski tidak mengakui ananda, beliau masih sering mengirim ananda makanan dan beliau yang mengatur dapur ananda."

Maya mengadukan seluruh keluhan yang tidak bisa dia sampaikan pada ayahanda dan ayahnya. Gumpalan daging dalam dadanya menjadi lega setelah mengadu pada ibundanya.

Hal yang dia selalu lakukan selama ini.

Perbedaannya, dahulu dia mengadu dalam mimpi, sekarang dia mengadu langsung pada ibu yang melahirkannya, yang mencintainya, yang mau melakukan apa pun padanya.

Perlakuan lembut Udelia dan hadiah berupa Antar untuk Maya, membuat Maya tidak memerlukan waktu yang lama untuk melihat ketulusan wanita yang ada dalam lukisan ayahnya.

Udelia semakin berang pada suami keduanya. Dia ingin sekali memukul kepala suaminya, agar sadar dan dapat melihat, betapa besar penderitaan yang diterima putrinya, dari wanita-wanita yang dibawa masuk oleh suaminya.

Sebenarnya, berapa banyak wanita yang dimiliki suaminya!?

Dan semuanya menindas putri mereka! Namun pria itu ... sadar pun tidak!

Kendatipun putri mereka tidak mengadu, harusnya sebagai ayah dan sebagai orang yang paling berkuasa ... orang seperti ini harusnya tahu yang terjadi di sekitarnya!

Udelia tidak habis pikir.

Atau cinta suaminya pada putrinya tidak sebesar itu? Pria itu hanya mencintai wanita yang bermanfaat baginya.

Kebencian Udelia pada Hayan, suami keduanya, terus menerus meningkat seiring fakta-fakta yang dibeberkan putrinya.

"Oh putriku yang malang...!" rancau Udelia dengan suara serak, menahan tangis atas bencana yang terjadi dalam hidup putrinya dan menahan amarah dalam dadanya untuk suami keduanya yang tidak tahu diri.

Sudah merebut Udelia dari Djahan, Mahapatih Bhumi Maja, Hayan justru tidak setia pada dirinya dan tidak becus mengurus putrinya.

Udelia menarik Maya ke dalam dekapannya, setelah dirasa cukup berbaring di atas pasir pantai.

TIKZ 2 [Terlempar ke Zaman Keemasan]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang