048 - DILIPUTI EMOSI YANG BURUK

137 34 0
                                    

"Udelia, ini aku, Djahan."

Nafas Djahan tercekat. Jantungnya berdetak kencang. Kepalanya mendadak kosong. Sang pujaan hati tidak mengenali dirinya.

Bagaimana bisa?

Djahan tak habis pikir. Kekasih hatinya tidak mengenali dirinya.

Sepasang mata kecokelatan berembun, menghadapi kondisi yang tak pernah disangkanya.

Dia sudah terlampau yakin, jikalau pujaan hatinya telah kembali ke negeri asalnya. Karena jika istrinya berada di dunia ini, wanita itu tidak mungkin mengingkari janjinya.

Istrinya berjanji rumahnya adalah tujuan pertama ketika datang ke dunia ini. Dia selalu menunggu di setiap harinya.

Sudah sakit hatinya menahan pukulan demi pukulan lara kala istrinya bersanding dengan Maharaja. Dia tidak mau kembali berbagi istrinya.

Mata sendu itu terpaku, meminta penjelasan pada mata yang menatapnya dengan dingin.

Udelia menatap pria asing di depannya dengan dingin dan garang. Udelia tidak suka pada sikap lancang Mahapatih. Entah dari mana muncul rasa berani untuk menghunus Mahapatih lewat tatapan. Dia sudah diwanti-wanti tidak terlibat masalah dengan para petinggi Bhumi. 

Di saat Djahan dan Udelia beradu tatapan, sebuah bayangan kecil berlari mendekati mereka dan berteriak-teriak girang, menunjukkan mahakarya buatannya.

Kuncian pada tatapan Udelia dan Djahan, terputus. Udelia menanggapi putranya, sementara Djahan memperhatikan sepasang ibu dan anak itu.

"Nda ... a nan..da dah buat.."

"Tuan muda...!" pekik Pelayan Rama, dari daun pintu. Dia tidak berani melangkahkan kakinya masuk ke dalam aula.

Ada utusan keraton di sana.

Sama saja bunuh diri bila dia memaksakan diri untuk masuk ke sana.

Kendatipun terdengar kabar orang keraton masa ini adalah orang-orang berhati baik dan bijak, dia tidak ingin ambil risiko.

Pelayan itu mematung di pintu masuk, seolah ada tembok menghalangi jalannya.

"Ibunda!" Rama menarik kaki Udelia, menyadarkan sang ibunda dari amarah yang meletup-letup.

Nyonya Ekadanta itu melempar senyuman pada sang buah hati. Menetralkan gemuruh dalam dadanya, sebelum menyahuti sang buah hati.

"Maaf sayang, ibunda melamun," ucap Udelia penuh sesal.

"Ini.." Rama menunjukkan hasil gambarnya.

Udelia menunduk melihat kertas yang disodorkan Rama. Rama menggambar dirinya bersama sang adik dan kedua orang tuanya dalam suasana khayangan.

Rama menggambar pemandangan hangat itu, setelah baru saja sang ayahanda selesai bercerita tentang kasih sayang di antara para bidadara.

Rama sangat cerdas dan cekatan. Gambarnya sangat bagus untuk ukuran anak seusianya. Hanya satu kali penjelasan diucapkan Candra, Rama langsung dapat membayangkan suasana indah di khayangan. 

Candra menanamkan pemahaman rasa kasih dan sayang antara kakak dan adik di dunia para bidadari dan bidadara.

"Bagus sekali, sayangku," puji Udelia mengacak rambut hitam Rama.

"Perkenalkan. Ini putra pertama saya, Rama Ekadanta," kata Candra pada Mahapatih.

Dalam diam, Djahan memandang bingung interaksi istrinya dan seorang anak kecil yang menginterupsi mereka. 

Sigap Candra berdiri di sisi Udelia, menggenggam lembut tangan Udelia. Takut ada seseorang memegangi telapak tangan Udelia.

"Pamanda?" gumam Rama tersenyum lebar.

TIKZ 2 [Terlempar ke Zaman Keemasan]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang