"Darah," gumam Hayan dalam hati.
Dia mengusap tangan kecil itu. Menghilangkan darah dari telapak tangan Rama. Memastikan bukan si kecil yang terluka.
Dia menggenggam tangan Rama. Amat kecil. Mungkin akan retak, bila dia sedikit meremasnya.
Sambil menggandeng Rama, mereka bertiga memasuki kamar yang ditunjuk-tunjuk Rama. Rengekan Rama mempercepat laju langkah Hayan.
Hayan terbeliak mendapati pemandangan di luar nalar pikirannya.
Sama sekali tidak dapat dia bayangkan, keraton yang dia pikir aman untuk Udelianya tercinta. Kenyataannya perempuan itu sedang tak sadarkan diri dengan darah bersimbah membasahi pakaiannya.
Dilepaskannya tangan mungil dalam genggaman. Bergegas dia mendekat, memeriksa keadaan Maharaninya.
Berharap darah di wajah Udelia hanyalah darah menempel, seperti darah di telapak tangan Rama.
"Hiks.. nda..."
Rama berlari. Dia memeluk raga ibundanya yang duduk bersandar, sambil menggendong adindanya. Tangan ibundanya begitu kencang memeluk tubuh mungil adindanya.
Pelan-pelan Hayan melepaskan Raka dari tangan Udelia. Wanita itu seketika terbangun dan mencoba menghalangi orang yang ingin mengambil anaknya.
Muncul rona merah di pipi pucat Udelia, menandakan amarah meletup-letup. Udelia marah pada seseorang yang hendak memisahkan dia dari anaknya.
Mata sayunya sedikit terbuka. Memandang gelisah sekitar. Menunduk memastikan keadaan putranya. Takut bayinya hilang diambil orang.
"Tenanglah. Aku akan membawa bayimu ke kasur," bisik Hayan lembut, menenangkan kegelisahan Udelia.
Suara lembut Hayan menghangatkan hati Udelia. Mata lemah itu menatap Hayan. Bibirnya membentuk segaris senyuman.
"Candra..?" gumam Udelia. Dia melepaskan bayinya pada pria yang sangat dia percayai, suaminya.
Hayan membawa pelan-pelan bayi kecil Udelia ke atas ranjang. Langkahnya hati-hati. Gerakannya penuh dengan perhitungan.
Setelah memastikan keamanan si kecil di atas ranjang, Hayan menggendong Udelia tanpa kesusahan.
Gendongan gaya pengantin adalah kesukaannya. Dia dapat menatap wajah wanita dalam gendongannya.
Pria dengan makuta menghias kepalanya itu menggendong kembali Raka yang masih terus menangis. Hayan tidak mau Udelia terganggu tidurnya karena suara tangis bayi.
Ayunan tangannya begitu mahir. Tak segan tangannya mengusap air mata yang meluncur keluar di wajah polos Raka.
Tangisan Raka berangsur-angsur berhenti. Kerutan di kening Udelia pun menghilang. Wanita itu terlelap dengan damai.
"Yang Mulia, hamba Ra Konco menghadap, bersiap menerima perintah."
Ra Konco bersimpuh dan memberi hormat. Huna, sang tangan kanan Maharaja, bergerak cepat memanggil tabib besar keraton, tanpa banyak bertanya pada tuannya.
Luka wanita yang diperhatikan tuannya begitu serius. Tidak mungkin dia abaikan begitu saja.
"Periksalah Maharaniku."
"Baik, Yang Mulia."
Ra Konco tidak banyak tanya, tidak terlalu kaget dengan penilaian tuannya. Dia langsung melakukan pemeriksaan pada wanita yang dipanggil 'Maharaniku' oleh tuannya.
Berbeda dengan Huna yang mendadak gamang, ketika tuannya menyebutkan sebuah gelar tertinggi pada wanita yang terbaring di ranjang. Seorang wanita yang tidak jelas asal usulnya.

KAMU SEDANG MEMBACA
TIKZ 2 [Terlempar ke Zaman Keemasan]
Historical Fiction⚠ Peringatan ⚠ Mengandung unsur 21+ Harap bijak dalam memilih bacaan. Dia terbangun dari komanya dan melupakan segala yang telah terjadi di sepanjang tidurnya. Dia lupa bahwa dia pernah berpindah ke zaman keemasan dan menjadi perempuan dengan deraja...