059 - TIDAK AKAN HILANG

129 28 0
                                    

Udelia mengusap darah yang muncul di bibir kanannya. Ini adalah kekerasan yang pertama. Yang sakit bukan hanya fisiknya, namun juga bathinnya.

"Benar. Harusnya kamu menghukumku."

Udelia tersenyum getir. Rintik air mengalir di pipinya.

"Candra Ekadanta! Apa yang kamu lakukan?!!!!" teriak Boco.

Begitu mendengar suara tamparan, Boco langsung menyeruak masuk ke dalam kamar. Mengesampingkan norma yang ada, keselamatan menjadi yang utama.

Boco sungguh tidak menyangka, cucu tersayangnya melakukan suatu kekerasan. Dia melihat sendiri tangan besar Candra menggantung di udara, sementara wajah cucu menantunya menyamping dan tampak ruam merah bekas tamparan.

Lebih gilanya lagi, cucu menantunya sedang menggendong cicitnya. Boco berharap tidak terukir ingatan dalam diri Raka tentang kekerasan hari ini.

Padahal keluarga mereka sema sekali tidak pernah mengajari kekerasan. Keras di medan perang, bukan berarti harus keras kepada keluarga.

Di dalam kediaman Ekadanta selalu penuh dengan cinta, tidak boleh ada sedikit pun kekerasan.

"Nak, hidungmu ... Ayo keluar dulu."

Boco menuntun Udelia. Hidungnya mengeluarkan banyak darah. Perempuan itu menunduk dalam-dalam, tidak berani menatap suaminya.

"Kau! Candra Ekadanta! Datanglah setelah ini!" geram Boco pada Candra.

Candra mematung di tempat. Terus memandangi telapak tangannya.

Sekali lagi, dia membuat dosa.

Udelia mengikuti langkah Boco ke gubuk lain untuk menerima pengobatan.

"Nak, Rakanya dibaringkan dulu. Banyak darah di kembenmu."

Udelia menggeleng lemah. Dia tidak mau melepaskan putranya.

Boco tidak memaksa. Tangan rentanya membalurkan rempah ke pipi cucu menantunya.

Udelia meringis. Sesakit itu tamparan suaminya. Disentuh sedikit, seperti ditekan dengan keras.

Boco menatap sendu menantu keluarganya. Kondisi Udelia amat mengenaskan. Terlihat jelas trauma dalam dirinya.

Sedetik pun tidak mau melepaskan Raka. Perempuan itu pasti gusar kehilangan anak sulungnya.

Semua perkataan menyakitkan yang keluar dari mulut cucu menantunya, bukanlah dari lubuk hatinya melainkan dari sakit hatinya.

Udelia menunduk, mencium dalam-dalam kening Raka, ketika Boco menutup pintu, membiarkan Udelia menangis dalam hening.

Raut wajah sendu Boco berubah garang. Rahangnya mengeras. Tubuh renta yang masih terlihat atletis itu berjalan penuh wibawa ke arah gubuk tempat tidur dan tempat bersantai.

"Cucuku ..... haaaaa!"

Boco menghela napas panjang. Tak habis pikir dengan kekerasan dalam rumah tangga yang dilakukan cucunya.

Boco melihat sendiri bagaimana cucu kesayangannya tumbuh. Tidak kekurangan kasih sayang, justru banyak menerima cinta.

Wajar bila keras dalam arena pertarungan, di luar arena sama sekali tidak ada didikan yang menggunakan tangan ataupun kata-kata kasar.

Bahkan menantu perempuannya, Tuti, begitu lembut memperlakukan Candra. Entah bagaimana perasaan sang menantu bila mendengar menantunya telah ditampar oleh anaknya.

Boco menjatuhkan Candra dalam sekali pukul. Dia tidak tahan melihat wajah cucunya, mengingat tangis cucu menantunya dan tangis cicitnya. Kedua pasti ketakutan.

TIKZ 2 [Terlempar ke Zaman Keemasan]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang