"Candra ... begini caramu menghadapi orang tanpa kekuatan?"
Udelia mengambang di atas tanah. Raganya tergantung pada sebilah kayu, dengan empat buah paku besar tertancap di kedua kaki dan kedua tangannya.
Perutnya terkoyak sebagian, akibat sebuah tali besar kasar diikat melingkar di perutnya. Pakaian yang menyelimuti tubuhnya tidak dapat menahan kasarnya tali yang terpasang melingkar di perutnya.
Belenggu sempurna itu membuat Udelia terdiam seperti patung. Tidak mampu melawan setiap siksa.
Yang dapat ia lakukan hanyalah mengaduh, memohon pada sang eksekutor agar menghentikan siksaannya.
Entah sudah berapa lama, entah sudah berapa kali dia menjerit kesakitan.
Cambukan yang dilayangkan Candra tidak main-main. Tiap lesatan cambuk, mampu menembus lapisan kulit hingga nampak daging yang tersembunyi di bawah berlapis-lapis jaringan kulit.
Udelia berkali-kali memohon, Candra seolah tak mendengarnya.
Tubuh Udelia yang kemarin masih mulus, sekarang terlukis oleh banyak goresan merah, menganga dan membekas.
"Candra ... hen ...ti.kan."
"Jangan memanggilku sedekat itu!" berang Candra.
Sekali lagi dia menghempaskan cambuk, pada raga yang sudah dipenuhi warna merah di sekujur tubuhnya.
Tatapannya lurus. Tidak ada setitik iba pun dalam menghunus. Lesatan demi lesatan melukis luka baru di tubuh tahanannya.
"Katakan! Siapa pemimpinmu?"
"Aw .... Hngg ... sakit sekali."
Udelia tak dapat mendengar ucapan Candra, yang terus menginterogasinya di tengah-tengah cambukan.
Suara di sekitar Udelia tidak sampai pada telinganya. Segala fokus dalam dirinya berkumpul jadi satu untuk bertahan, menghadapi bertubi-tubi cambuk yang mengarah ke tubuhnya.
Setelah beberapa waktu berlalu, Candra tak kunjung menghentikan cambukannya. Bernapas pun Udelia kesusahan. Sungguh tidak punya perasaan, adik angkat kesayangannya itu.
Mata Udelia terbuka lebar, dia menatap tajam Candra. Amarah merasuki relung hatinya. Rasa sakit yang mendera, membuat dia tidak lagi berpikir akan hubungan mereka.
Dia mendelik dan bersumpah, "Kamuu a.. kan me nye ..sal.." ancamnya dengan terbata-bata.
Udelia berpikir dia telah melakukan hal sia-sia. Tidak mungkin Candra mendengarkan ucapannya.
Namun ternyata, ancaman itu seketika menghentikan tangan Candra. Hati Candra mendadak tidak nyaman.
Tidak ada kekuatan keluar dari tubuh sang tahanan. Bukan karena kekuatan mengintimidasi, dia menghentikan cambukan pada si tahanan.
Dia hanya merasa harus menghentikannya..
..atau dia akan benar-benar menyesal.
"Siapa kamu?" tanya Candra. Dia menyembunyikan tangannya yang gemetar di belakang punggungnya.
Takut. Itu yang ditunjukkan tubuhnya, meski akal dan pikirannya sulit mencerna dari mana datangnya rasa takut.
Candra tidak dapat menghentikan gemetar pada dua tangannya.
Udelia melirik orang yang berbicara padanya. Pria itu pergi sambil menggulung cambuk yang telah menyiksanya.
Udelia menarik napas panjang. Dia mencoba merendam amarah dalam hatinya. Candra tidak memahami kenyataan yang sesungguhnya. Adik angkatnya hanya menjalankan tugas.
KAMU SEDANG MEMBACA
TIKZ 2 [Terlempar ke Zaman Keemasan]
Historical Fiction⚠ Peringatan ⚠ Mengandung unsur 21+ Harap bijak dalam memilih bacaan. Dia terbangun dari komanya dan melupakan segala yang telah terjadi di sepanjang tidurnya. Dia lupa bahwa dia pernah berpindah ke zaman keemasan dan menjadi perempuan dengan deraja...