"Aku panggilkan tabib."
Hayan hendak menurunkan gadis dalam dekapannya ke atas kasur. Gadis itu malah mengeratkan pelukannya, tak mau lepas dari tubuhnya yang hangat.
Hayan masih mencoba bersabar. Membiarkan gadis itu memeluk tubuhnya. Dia akan membawa si gadis ke kasur dan menanyakan tentang keberadaan wanita yang dicintainya.
Dia meyakini, suara itu tidaklah salah didengarnya. Mungkin, Maharaninya mengenal gadis itu dan sering berkomunikasi dengannya.
Perempuan yang berada di gendongannya, Hayan akan bertanya hubungan si gadis dengan cintanya.
Harapan besar membuatnya menjadi tak masuk akal. Melakukan yang tidak biasa dia lakukan pada seorang yang asing.
Mendekatinya, bersimpuh di depannya, menggendongnya, bahkan bersabar atas ketidaksopanannya.
Hanya karena sebuah asa perjumpaan dengan separuh jiwa, dia letakkan segala kebanggaannya sebagai seorang pria tertinggi di Bhumi Maja.
Seseorang yang bisa mendapatkan segalanya; harta, wanita, nyawa, tanah, pulau, dan lainnya, selain kebersamaan dengan kekasih hati.
Untuk mendapatkan hal itu, Hayan rela mengorbankan segalanya.
Bila pun mesti turun dari tempatnya yang agung.
Bila pun mesti bersusah untuk sekadar makan.
Bila pun mesti tinggal di tempat yang tidak seluas keratonnya.
Hayan sudi menukar semua itu, demi bersama perempuan paling penting dalam hidupnya.
Nyatanya itu hanya angan. Jarak mereka berbatas dimensi. Dunia mereka berbeda.
Tidak ada kekuatan yang mampu mendekatkan jarak mereka. Hanya suatu keajaiban yang mampu mengikis jarak, yang akan menyatukan dirinya dengan istrinya, maharaninya, cintanya, ibu dari buah hatinya.
Lembut Hayan membuka pegangan perempuan dalam dekapannya. Satu persatu jari terlepas dari bahunya. Mencoba bersikap lembut agar perempuan dalam dekapannya, turun dan terlepas darinya.
Sejurus kemudian Hayan tersentak. Sengatan panas menghujam lehernya. Bagian pemisah tubuh dan kepala itu memerah, lehernya digigit perempuan yang enggan lepas darinya.
Tangan Hayan yang masih sibuk membuka jemari Udelia, melepas paksa pegangan Udelia di tubuhnya. Dia membanting perempuan itu ke atas kasur. Tak peduli bila ada tulang patah akibat ulahnya.
Perempuan ini sudah melewati batas. Dikasih kelembutan, minta kehangatan.
"Jangan keterlaluan!!" berang Hayan.
Suaranya kedap di dalam kamar, tidak terdengar ke luar. Namun burung-burung yang lelap di pohon, serempak beterbarangan. Takut masa hidupnya berakhir, sebab aura keamarahan Hayan meletup-letup ke sekitar.
"Ugh!" Udelia melindungi perutnya dari sakit yang mendera. Nyatanya sakit itu menusuk dari dalam. Dia meringis kesakitan. Perut dan di bawah perutnya, memberikan dua sensasi berbeda, yang sama-sama membuatnya mengerang.
Di antara dua rasa, sungguh tak menyenangkan. Rasa sakit dan tidak nyaman menguasai tubuhnya.
Hayan tersentak. Dengan bantuan cahaya bulan yang jatuh dari genting kosong —yang sengaja tak dipasang— Hayan melihat darah merembes, membasahi pakaian perempuan di atas ranjang.
Udelia merintih di antara dua keadaan. Sakit dan gerah. Tak nyaman bergerak, juga tak nyaman terdiam.
Ah. Dia bisa gila bila ini terus berlanjut.
Terbesit sebuah simpul dalam hati Hayan, luka yang basah di perut itu nampak seperti tusukan pedang yang dihunus Djahan.
"Apa ... kamu ... Maharaniku?" Hati kecil Hayan berbisik. Kepercayaannya melejit. Menatap sendu perempuan yang sakit di depannya. Seluruh hatinya mempercayai bisikan itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
TIKZ 2 [Terlempar ke Zaman Keemasan]
Historical Fiction⚠ Peringatan ⚠ Mengandung unsur 21+ Harap bijak dalam memilih bacaan. Dia terbangun dari komanya dan melupakan segala yang telah terjadi di sepanjang tidurnya. Dia lupa bahwa dia pernah berpindah ke zaman keemasan dan menjadi perempuan dengan deraja...