"Saya akan pulang."
Pria berambut hitam panjang dengan kuncir setengah atas —Rawindra Sanjaya yang biasa dipanggil Indra— berpamitan pada rekan-rekannya yang baru datang.
Para pria bawahan Indra —yang selalu dianggap Indra sebagai rekan— serempak mengganggukkan kepala dan menjawabnya dengan sopan.
"Selamat beristirahat, tuan."
"Selamat pagi—" Seorang pria berambut ikal yang terlambat datang, berseru dengan riang. Rekan yang datang bersamanya, memukul keras kepalanya.
Pimpinan mereka tampak lelah, setelah begadang semalam suntuk tanpa istirahat.
Jika diingatkan sekarang masih pagi, pimpinan mereka mungkin membatalkan rencana istirahatnya dan memaksakan diri untuk memantau keamanan keraton.
Kegigihan pemimpin mereka bisa membawa sakit, bila terus dibiarkan. Mereka tidak akan membiarkan pimpinan mereka terus bekerja tanpa istirahat.
"Selamat beristirahat, tuan." Ralat pria berambut ikal itu. Dia menunduk pada Indra yang lewat di depannya.
"Beliau biasanya istirahat sebentar doang terus lanjut kerja. Hari ini akan pergi ke mana?" Pria berambut ikal masih penasaran dengan pemimpin mereka, yang gerak-geriknya tak biasa.
Teman-teman seperjuangannya mengendikan bahu tak tahu. Tahu pun mereka tidak akan mencampuri urusan pemimpin mereka. Tugas mereka hanyalah patuh, tanpa banyak bertanya.
Indra melangkah pergi meninggalkan keraton. Beberapa orang menyapanya, tak didengarnya apalagi dibalasnya. Pikiran Indra terpusat pada hal lain.
Gerakan Candra sangat mencurigakan bagi Indra.
Indra dan Candra selalu bersama-sama selama berada di medan perang, dalam rangka mempersatukan seluruh kepulauan.
Mereka juga selalu bersama-sama selama berada di aula keamanan keraton, tempat mereka melembur.
Hampir semua kegiatan Candra, dalam sepuluh tahun belakangan, Indra hafal di luar kepala.
Dia tahu, waktu senggang yang ada, selalu digunakan Candra untuk menghabiskan waktu bersama ibunya. Tidak pernah Candra berkeliaran di tempat-tempat remang, seperti yang biasa dilakukan sebagian bangsawan.
Tapi semenjak tiga bulan lalu, Candra tidak lagi melembur dan menginap di keraton. Ibu dari Candra pun terlihat sibuk sendirian, tanpa ditemani Candra.
Kemudian tiba-tiba saja Candra mengundurkan diri.
Indra tidak percaya Candra memiliki seorang kekasih yang disembunyikan. Pria itu sudah disibukkan berbagai tugas dan berbakti pada orang tuanya.
"Pernikahannya terlalu janggal. Apalagi wajah pengantin wanita ditutupi. Keluarga yang besar dan lengkap, tidak mungkin menutupi identitas pengantin wanita sampai seperti itu. Rakyat biasa? Itu lebih tidak mungkin. Candra tidak pernah memandang mereka."
Indra memikirkan berbagai kemungkinan. Bagi Candra, rakyat jelata tidak lebih dari sebuah beban. Rakyat jelata tidak memiliki banyak manfaat untuk negara. Jangankan berbicara, menatap rakyat jelata saja Candra enggan.
Tidak mungkin Candra mencintai rakyat jelata.
Jika saja Candra tidak mendapatkan restu dari orang tuanya, itu sangat memungkinkan untuk menutupi wajah mempelai wanita, agar tidak diganggu keluarganya.
Pada kenyataannya, keluarga Candra semuanya hadir dan tidak terlihat membenci mempelai wanita.
Indra percaya Candra. Namun dia harus tetap mewaspadai semua orang, yang sangat mungkin untuk berkhianat.

KAMU SEDANG MEMBACA
TIKZ 2 [Terlempar ke Zaman Keemasan]
Fiksi Sejarah⚠ Peringatan ⚠ Mengandung unsur 21+ Harap bijak dalam memilih bacaan. Dia terbangun dari komanya dan melupakan segala yang telah terjadi di sepanjang tidurnya. Dia lupa bahwa dia pernah berpindah ke zaman keemasan dan menjadi perempuan dengan deraja...