"Kakak siap?"
"Bersumpahlah."
"Dalam ritual ini, aku bersumpah tidak melakukan apa pun, selain membantu Udelia mengembalikan ingatannya."
"Tidak. Bersumpahlah menjaga putra-putraku."
"Aku bersumpah, selama hidupku, mereka akan selalu berada di naungan yang baik."
"Baiklah. Jadi aku harus bertapa lima belas hari di sini?"
"Iya. Aku salurkan energi dulu pada kakak. Silakan."
Balaputra duduk di tengah ruangan lalu menunjuk tempat di depannya yang terpisahkan oleh sebuah nampan.
Balaputra melaksanakan janjinya pada Udelia. Mereka duduk di ruangan khusus yang sudah disulap sedemikian rupa.
Balaputra tersenyum. Dia senang dan juga marah atas keputusan Udelia. Senang mempercayainya tapi juga tak senang Udelia terlalu percaya pada orang asing.
Balaputra menggeleng. Udelia duduk dengan polos di seberangnya. Nampaknya dia melakukan kejahatan pun, Udelia tidak akan berkutik.
"Kakak sangat mudah mempercayai orang," ucap Balaputra menatap punggung Udelia. Udelia duduk membelakanginya. Balaputra akan mentransfer energi melalui punggung Udelia.
"Padahal tidak semua orang baik dan jujur seperti kakak," tambah Balaputra. Suaranya tertahan. Dia marah atas kepolosan Udelia. Dia ingin sekali meringkusnya.
"Aku tidak punya apa pun. Harta, rupa, maupun kedudukan. Dua putraku sama sekali tak bisa dibandingkan dengan ribuan prajurit dan budakmu, kamu pun telah bersumpah," terang Udelia tentang kepolosannya.
Balaputra mengepalkan tangannya di depan muka. Terlalu gemas dengan tingkah Udelia. Perempuan itu selalu saja rendah diri.
Tidak tahukah ada berapa banyak yang membicarakannya di belakang?
Balaputra menggeleng. Wanita pujaannya itu memang tidak terlalu peduli dengan gosip yang beredar. Jika ada yang mencibirnya pun ditanggapi dengan santai. Sama sekali tidak marah. Kecuali saat dikata-katai.
"Kakak, hargailah dirimu. Ada yang iri ingin jadi sepertimu dan ada pula yang kagum dengan sikap, juga keberhasilanmu. Kakak sangat bersinar ketika mengambil piala dan ketika memberikan piala pada kepala sekolah. Kakak tidak berbicara kecuali penting. Semua yang kakak lakukan sangat indah."
"Haha. Begitukah?" Udelia bersemu. Ternyata Balaputra adalah penggemarnya. Apa pun perilakunya, selalu saja pria itu menyanjungnya.
Dia besar kepala.
"Silakan ingat, kak." Balaputra mulai memberikan sebagian energinya.
Udelia memejamkan matanya kala merasakan sepasang tangan menempel di punggung. Balaputra mengucapkan beberapa kalimat, lalu muncul cahaya dalam gelapnya mata.
Ingatan muncul bak air mengalir deras, membawa kenyamanan dalam jiwa Udelia. Dia seperti menonton sebuah kilas balik. Tidak ada ingatan bertumpuk dan menyakitkan seperti hari-hari yang lalu.
Ketika sampai di penghujung ingatan, Udelia membuka mata. Ruangan tampak tetap sama, hanya berbeda cahaya yang menerangi.
"Sudah selesai?" tanya Balaputra sedang menyalakan lilin yang melingkar di sekitar Udelia.
"Ya. Apa lima belas hari telah berlalu? Bagaimana putra-putraku?" tanya Udelia.
Uhuk.. uhuk..
Balaputra batuk berdarah dan sesak mendera. Pria itu menjatuhkan tubuhnya. Meletakkan kepala di pangkuan Udelia.
"Balaputra??" panggil Udelia khawatir.
KAMU SEDANG MEMBACA
TIKZ 2 [Terlempar ke Zaman Keemasan]
Fiksi Sejarah⚠ Peringatan ⚠ Mengandung unsur 21+ Harap bijak dalam memilih bacaan. Dia terbangun dari komanya dan melupakan segala yang telah terjadi di sepanjang tidurnya. Dia lupa bahwa dia pernah berpindah ke zaman keemasan dan menjadi perempuan dengan deraja...