Bab 22

24 7 5
                                    

Sepanjang perjalanan pulang, perasaan Tami tidak baik-baik saja. Ada perasaan bersalah dan penasaran yang besar di hatinya. Seolah kedua perasaan itu sudah menggunung dan ingin meledak kala ia mendengar cerita Tristan. Ada banyak hal yang ingin Tami ketahui. Selama ini ia hanya menyimpannya, bersikap baik-baik saja dan membiarkan semua berjalan seperti biasanya. Hingga tanpa ia sadari ada jarak yang ia ciptakan untuknya dan Syarif.

Tidak ada yang menyadari hal itu. Semua orang yang melihat interaksi keduanya akan mengira jika mereka adalah ayah dan anak yang dekat, namun di balik itu ada rasa kecewa dan sedih yang selama ini Tami tahan. Tami bukanlah sosok orang yang dapst dengan mudah untuk mengekspresikan apa yang ia rasakan apalagi untuk ia katakan. Hanya orang-orang tertentu saja yang bisa ia jadikan teman bercerita. Ayah, Ibu dan Syailendra, hanya pada mereka Tami bisa leluasa menceritakan keluh kesahnya. Namun, semenjak kepeegian sang Ibu, sikap sang Ayah perlahan berubah. Syarif menjadi orang yang sibuk dan jarang memiliki waktu untuk Tami. Padahal saat itu ia ingin sekali berbagi rasa sedih dan kehilangannya pada sang Ayah.

Pernah karena perasaannya sudah todak bisa ia pendam, Tami menjadi jatuh sakit di saat Syarif sedang mengurus bisnis keluarga di luar negeri. Saat itu yang mengurus Tami hanya Nenek dan Bude Sekar. Mereka mengurus Tami dengan kasih sayang, sampai ketika sang Nenek sedang tidak berada di sampingnya, Bude Sekar mengatakan sesuatu yang membuat Tami pada akhirnya memilih untuk tidak lagi percaya pada Syarif. "Jangan menyusahkan orang, kamu kira dengan sakit seperti ini, semua yang kamu mau akan kamu dapat? Bahkan ayahmu saja memilih pergi memgurus bisnis dibandingkan kamu. Beetingkahlah seperti biasa dan jangan merepotkan orang lain, karena orang yang benar-benar peduli padamu hanya Ibumu." Ucapan Sekar seolah menjadi kutukan bagi Tami. Semenjak saat itu, Tami peelahan sembuh, tetapi tidak dengan jiwanya yang merasa tidak bisa percaya pada siapapun dan tidak ingin berbagi dengan siapapun.

Ketika sang Nenek dan Kakek kemudian menyusul sang Ibu, kehidupan Tami makin terasa menyiksa. Bude Sekar selalu menekannya untuk bisa mandiri jauh melebihi usianya. Jika tidak, maka hanya sindiran dan celaan yang Tami terima. Bahkan kata-kata jika ia hanya seorang perempuan yang lemah selalu disuarakan oleh Sekar, seolah Tami adalah seorang yang benar-benar tidak bisa apa-apa.

Syarif yang terkadang melihat Sekar menasihatinya pun ikut mendukung. Ia kerap kali mengatakan jika yang dikatakan Sekar benar. Tami harus menjadii sosok yang kuat, Tami harus mandiri, Tami tidak boleh bergantung pada orang lain. Membuat Tami makin kecewa dengan Ayahnya. Kemana Syarif yang selalu menjadi temannya berkelih kesah? Ke mana Syarif yang selalu memeluknya di kala ia sedih? Ke mana Syarif yang selalu memperlakukannya bak seorang putri?

Tetapi lagi-lagi Tami hanya berekspresi normal, seolah ia baik-baik saja. Segala kesedihan, kekecewaan dan perasaan rapuhnya ia sembunyikan. Ia akan teesenyum dan meminta maaf layaknya anak penurut yang menerima segala apa yang diucapkan Sekar. Serta perlahan membangun tembok hanya untuk ia sendiri menyimpan semua apa yang ia rasakan dan pikirkan. Termasuk pikiran yang menduga jika sikap Syarif yang selama ini pria itu tujukan semata-mata karena memang pria itu tidak pernah mencintainya dan Ibunya. Tami hanya berpikir jika hanya dirinya yang kehilangan tanpa peenah peduli dengan sang Ayah.

Ketika sampai di kosan, Tami masih saja memikirkan apa yang diucapkan oleh Tristan. Seharian ia menjadi pendiam dan lebih banyak termenung. Membuat teman-temannya bingung dengan perubahan sikap Tami. Wanita itu memang sering beesikap cuek, tetapi pandangan kosongnya seolah memberitahu siapapun jika dirinya sedang memiliki masalah.

Bahkan ketika sedang menonton televisi pun, Tami masih saja termenung. Matanya memang memandang televisi, tetapi pikirannya entah sedang memikirkan apa. "Mi, lo kalau capek mending istirahat aja di kamar," tegur Derby yang kebetulan duduk di sampingnya. Membuat Tami tersentak dan memilih bangun dari duduknya untuk menuju kamarnya.

"Mi," panggil Randu.

"Gue mau ke kamar, Du." Tanpa menoleh, Tami menjawab panggilan Randu yang menurutnya sedang menjahilinya. Sungguh, Tami saat ini tidak mood untuk meladeni Randu.

Penasaran sama kelanjutan ceritanya, cuss ke aplikasi Fizzo, di sana lebih lengkap dengan ekstra part. Search aja "When We Meet"

When We Meet (Complete) Move To FizzoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang