Assalamualaikum semuanya, apa kabar?
Ada typo? Koreksi ya makasih
Disisi lain, seorang lelaki memakai jubah berwarna putih duduk termenung di atas tempat tidur itu, tangannya masih memegang pulpen di atas buku tulis itu kalut dengan pikirannya.
"Ya Allah, kenapa aku gelisah seperti ini?" Tanya Gus Ikhsan.
Tok ... tok
"Ikhsan!"
Abah mulai tersenyum tipis ketika membuka pintu menatap anaknya yang melamun. "Sudah ku duga kamu tidak akan berani datang ke sana untuk menolak lamaran karena kamu hanya berani dengan orang dekat denganmu saja tidak berani public speaking," ucap Abah.
Gus Ikhsan mendengar ucapan Abah ia mulai menutup matanya itu dan mulai membuka matanya dengan perlahan. "Abah, jangan memulainya," ucap Gus Ikhsan.
"Sampai kapan kamu seperti ini? Katakan, aku sudah mengajarkan dirimu banyak hal, bahkan Abah sudah mencari uang sebanyak mungkin agar kamu tidak merasa kekurangan Ikhsan hargai itu," ucap Abah.
"Abah, kebebasan yang ku inginkan tidak banyak hanya dua kebebasan ini saja, Abah. Aku sudah terlalu lama menuruti Abah aku menginginkan hanya ini Abah tidak mengabulkannya," ucap Gus Ikhsan.
"Jangan mengajari Abah Ikhsan, wajar seorang anak itu menuruti keinginan orang tuanya," ucap Abah.
Gus Ikhsan terdiam tidak berani mengucapkan suatu kata yang menyakitkan hati Ayahnya itu. "Pergilah dari sini, Abah sangat kesal denganmu. Abah sudah susah payah membangun bisnis itu hanya Allah yang tahu apa jadinya nanti," ucap abah pergi keluar dari kamar Gus Ikhsan.
Gus Ikhsan mulai mengusap wajahnya dengan kedua tangan itu, mengatur nafasnya dan menatap dirinya di cermin berbentuk persegi itu. "Aku pasti berani berbicaranya, aku harus terbiasa berbicara di depan orang banyak tanpa harus malu," ucap Gus Ikhsan pergi menuruni tangga satu persatu dengan jantung yang berdetak dengan begitu kencang dengan nafas yang tidak beraturan.
Sesampainya di parkiran ia mulai menaiki motor vario berwarna putih itu, untuk pergi ke rumah Fania.
Perjalanan hampir satu jam, tanpa kendala macet. Rumah di perumahan Gajah Mada itu begitu mewah, rumah-rumah dan ruko begitu mewah di tempati orang - orang kaya.
Gus Ikhsan mulai menuju alamat yang diberikan Ayahnya itu di blok Jeruk nomor rumah 15 sesampainya di depan rumah yang begitu besar dan mewah itu Gus Ikhsan hanya bisa terdiam menatapnya.
Gerbang rumah yang tinggi, serta rumah lantai dua itu membuat Gus Ikhsan ragu untuk memasuki.
Halaman begitu luas dan bersih serta satpam, satpam tersebut mulai menghampiri Gus Ikhsan datang menatap Gus Ikhsan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Secercah Harapan Dan Cinta
RomanceINI CERITA LANJUTAN DARI TANGISAN SANTRIWATI INI ADALAH SEASON 2 DARI STORY TERSEBUT. PASTIKAN KALIAN SUDAH MEMBACA STORY TANGISAN SANTRIWATI 1. Setelah Ratih keluar dari pondok pesantren yang membuatnya dididik untuk mandiri, kini ia mengharapkan...