Matahari terasa begitu terik menyinari Majapahit siang ini, sepertinya musim kemarau masih akan berlangsung lama. Sudewi nampak baru saja menyelesaikan pertemuannya dengan Guru Atharwa ketika dia merasakan sengatan panas sinar matahari menyentuh kulitnya begitu keluar dari pendopo, membuatnya agak sedikit terburu-buru dalam berjalan. Langkah kakinya baru berhenti ketika melewati Balai Agung Manguntur. Dilihatnya tempat itu nampak begitu sepi.
Apakah dia sedang pergi ke luar lagi?
Sudewi tahu beberapa hari ini, Hayam Wuruk benar-benar sedang disibukkan dengan persiapan perluasan pelabuhan Canggu. Sepertinya banyak yang harus diurusnya, membuatnya jarang sekali terlihat berada di keraton. Sudewi cukup mengerti jika pria itu sama sekali tak bisa menemuinya.
Lagipula apa bedanya bagimu Sudewi?
Dia menemuimu atau tidak, tidak akan ada bedanya. Dia menemuimu hanya karena tak ingin semuanya curiga dan bertanya-tanya, bukan karena memang ingin benar-benar menemuimu.Sudewi terdiam dengan suara pikirannya itu. Perlahan kakinya kembali menapaki jalan.
Apapun alasannya menemuimu tidaklah penting bagimu Sudewi...
Dicobanya menghela nafas dalam-dalam untuk mengenyahkan pikiran buruknya itu.
Langkah kakinya kembali terhenti ketika dilihatnya Nertaja yang sedang terduduk sendiri di bangku taman. Di bawah rindangnya pohon jambu, gadis itu nampak sedang tersenyum-senyum sendiri sembari memegang secarik kertas ditangannya.
"Apa kiranya yang membuatmu tersenyum-senyum seperti itu Nertaja?" Tanya Sudewi sembari mendekati adik iparnya itu.
"Yunda...." Nertaja nampak terkejut dengan kedatangan Sudewi, tapi senyum tetap sama sekali tak lepas dari wajahnya.
"Apakah sesuatu yang menyenangkan telah terjadi?" Tanya Sudewi lagi.
Nertaja nampak begitu tersipu.
"Hmmm Yunda....""Ya?"
"Yunda ingat saat acara pemberian gelar waktu itu, banyak utusan kerajaan bawahan yang datang bukan?" Ucap Nertaja.
"Ya.. Lalu?"
"Aku bertemu dengan seseorang pada saat itu." Rona merah nampak semakin jelas di wajah Nertaja.
"Seseorang? Siapa?"
"Dia adalah Raden Sumana dari Paguhan."
"Raden Sumana?"
Dengan wajah yang masih tampak begitu tersipu Nertaja mengangguk.
"Aku menerima surat darinya hari ini." Ucapnya sembari menunjukkan kertas di tangannya."Surat? Apa isinya?" Tanya Sudewi.
Nertaja sama sekali tak menjawab. Namun melihat senyum dan rona bahagia di wajah gadis itu sudah cukup bagi Sudewi untuk mengetahui apa isi surat itu.
"Kau sedang jatuh cinta." Ucap Sudewi tersenyum.
"Yunda...jangan bertanya seperti itu padaku." Ucap Nertaja nampak begitu malu.
"Aku tidak sedang bertanya." Ucap Sudewi. Dipandangnya lekat-lekat wajah adik iparnya itu.
"Oh astaga, betapa cantiknya gadis yang sedang jatuh cinta." Goda Sudewi."Yunda...." Senyum indah nampak menghiasi bibir sang Putri Majapahit itu, namun sejurus kemudian gadis itu nampak terdiam seakan sedang memikirkan sesuatu.
"Yunda....apakah menurutmu aku akan beruntung?" Tanyanya."Beruntung bagaimana maksudmu?" Tanya Sudewi nampak bingung dengan pertanyaan adik iparnya itu.
"Bukankah orang-orang seperti kita tak punya banyak pilihan untuk mencintai, Yunda." Ucap Nertaja sembari menunduk.
"Pernikahan...bagi kalangan keraton biasanya tak lebih dari karena urusan politik, atau keinginan untuk menjaga darah murni keturunan. Tak penting apakah kita cinta atau tidak, bahagia atau tidak." Matanya kini nampak menerawang jauh. Sepertinya gadis itu sama sekali tak menyadari kata-katanya itu telah membuat Sudewi begitu terhenyak.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hayam Wuruk & Sri Sudewi
Historical Fiction"Tak perlu menuliskan seberapa besar rasa cinta di antara kita di atas selembar kertas." "Jika seseorang mengingatku ketika mendengar namamu disebut, maka ia telah mengerti betapa besarnya rasa cinta itu ." "Meskipun seseorang hanya akan mengenal na...