Sudewi nampak menyeringai menahan sakit ketika mengusap luka di telapak tangannya dengan selembar kain basah. Dilihatnya luka itu cukup lebar, semoga saja tidak ada orang yang akan menyadari keberadaan luka itu dan bertanya apa penyebabnya.
Perlahan dihelanya nafas panjang. Dipandangnya langit malam di luar teras kamarnya. Tampak bulan yang telah melewati fase purnamanya, bersinar lebih redup dari hari-hari sebelumnya. Bintang pun nampak tak secemerlang biasanya. Mengapa langit seakan ingin menyamakan pemandangannya dengan isi hati Sudewi malam ini?
Sekali lagi ditariknya nafas dalam-dalam. Hari ini dia hampir saja terbunuh oleh anak-anak panah itu. Masih bisa dirasakannya hembusan angin ketika anak-anak panah itu melesat melewati tubuhnya siang tadi. Namun sejujurnya bukan itu yang mengganggu pikirannya saat ini.
Masih terbayang jelas olehnya bagaimana wajah Hayam Wuruk ketika mereka berpisah setibanya di keraton tadi.
"Beristirahatlah Sudewi."
Pinta pria itu, tanpa sedikitpun memandang pada Sudewi. Tanpa menunggu jawaban darinya, Hayam Wuruk pun berlalu meninggalkannya. Mungkinkah suaminya itu ingin segera menyendiri? Terbaca jelas oleh Sudewi betapa semerawutnya wajah suaminya itu ketika meninggalkannya tadi.
Apa yang kini bisa dilakukan Sudewi untuk Hayam Wuruk? Sudewi tahu apa yang telah terjadi di hutan siang tadi, telah membawa dampak besar bagi suaminya itu. Mendengar kata Bubat sudah cukup untuk membuat pria itu larut kembali dalam ketidak berdayaannya. Membawanya kembali pada kenangan buruk, yang mungkin sedang mati-matian ingin dilupakannya. Dan sudah pasti ingatan akan seseorang yang dicintainya kembali memenuhi relung hati pria itu.
Seandainya saja Hayam Wuruk memberi kesempatan lebih padanya, Sudewi pasti sudah akan tetap berada disamping pria itu malam ini, memeluknya erat-erat, berbagi kegetiran dan kegelisahan bersama.
****
Di sebuah ruangan dalam kamarnya yang nampak begitu temaram, Hayam Wuruk nampak sedang merutuki ingatannya.
Kini, dihadapan sebuah lukisan, dia tampak duduk berlutut tak berdaya. Lukisan yang sebenarnya sudah lama tak berani dilihatnya karena rasa bersalah yang bersemayam di hatinya pada seseorang yang berada dalam lukisan itu. Dan kini rasa bersalah itu kembali membuncah. Kembali membawanya jatuh kejurang ketidak berdayaannya.
Dan satu hal lagi yang lebih membebani pikirannya kini, yaitu Sudewi. Masih teringat jelas dibenak Hayam Wuruk apa yang terjadi pada wanita itu siang tadi. Dia hampir saja kehilangan istrinya itu. Wanita itu, wanita yang tak tahu apa-apa soal perang di Bubat itu, hampir saja tewas terbunuh hari ini.
Rasanya beberapa hari kebelakang telah menjadi hari-hari yang dinantikan Hayam Wuruk selama ini. Perlahan dirinya bisa menemukan ketenangan ketika ada Sudewi bersamanya. Namun hari ini semuanya telah berubah. Ketenangan hati itu telah sirna, berubah menjadi kegelisahan dan kekhawatiran. Bahkan untuk menatap wajah atau mata Sudewi pun Hayam Wuruk merasa tak sanggup.
Seandainya saja wanita itu tak harus berada di samping Hayam Wuruk? Seandainya saja Hayam Wuruk tak menarik Sudewi untuk bersamanya, wanita itu akan tetap hidup aman. Tak tahu bahaya apa lagi yang akan mengintai mereka kedepannya, tapi seandainya saja terjadi sesuatu yang buruk pada Sudewi, Hayam Wuruk tak tahu harus hidup bagaimana lagi. Dia sama sekali tak ingin ada lagi nyawa yang hilang karena dirinya.
Perlahan Hayam Wuruk nampak memberanikan diri untuk menatap sosok dalam lukisan di hadapannya itu.
"Ma'afkan aku...." Ucap Hayam Wuruk lirih.
"Ma'afkanlah aku..." Ucapnya sekali lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hayam Wuruk & Sri Sudewi
Historical Fiction"Tak perlu menuliskan seberapa besar rasa cinta di antara kita di atas selembar kertas." "Jika seseorang mengingatku ketika mendengar namamu disebut, maka ia telah mengerti betapa besarnya rasa cinta itu ." "Meskipun seseorang hanya akan mengenal na...