Bab 93

163 23 17
                                    

"Bulan benar-benar purnama malam ini...."Gumam Hayam Wuruk yang sedang berdiri memandangi benda langit menakjubkan itu dari jendela kamarnya. Mata sang raja Majapahit itu benar-benar tertawan, tampak tersihir sekejap oleh indahnya pemandangan yang ada dihadapannya.

"Adakah wajah seseorang yang langsung terbayang dibenak Anda?"
"Jika ada, siapapun itu, maka dia lah jawaban dari rasa bingung Anda, Prabu. Dia lah pemilik rindu dihati Anda."

Benarkah adanya yang dikatakan Patih Gajah Mada padanya tadi sore? Wajah yang terbayang dibenak Hayam Wuruk adalah jawaban dari segala kegundahan dan rasa pedihnya?

Sudewi....

Selirih mungkin Hayam Wuruk memanggil nama itu dalam hati. Tak bisa sedikitpun dibantahnya bahwa tak ada selain wajah sang Permaisuri yang tergambar jelas di relung pikiranya.

Dan dalam diamnya, Hayam Wuruk kembali mengamati bulan. Ia bahkan tak menyadari jika purnama telah kembali tiba. Waktu terasa hanya sekedar lewat baginya. Lewat tanpa memberikan sedikitpun arti.

Bagaimana tidak, pikirannya benar-benar penuh sesak dengan penyesalan, ketidak tahuan dan rasa rindu yang ditahannya entah sudah berapa lama. Ketiga hal itu tak pernah meninggalkan hati Hayam Wuruk barang sedikitpun. Tak memberinya celah untuk sekedar bisa bernafas tenang. Pantas jika orang-orang seperti Patih Gajah Mada ataupun Ibunya bisa begitu dengan mudah mengetahui betapa kacaunya hidup Hayam Wuruk saat ini.

Hayam Wuruk masih ingat, terakhir kali ia merasa begitu kacau adalah saat dimana ia harus menghadapi keterpurukan akibat perang di Bubat. Namun jika dulu ia berhasil keluar dari keterpurukan itu karena Sudewi datang padanya sebagai penyembuh, lalu saat ini, bagaimana Hayam Wuruk harus menghadapinya jika sang penyembuh itu sendirilah yang membawanya kembali ke kehancuran dan rasa kehilangan.

Bukankah itu salahmu sendiri?

Hayam Wuruk tampak tersenyum pedih mendengar suara di kepalanya. Lalu masihkah ada harapan untuknya? Harapan jika tiba-tiba Sudewi kembali pulang, kembali tersenyum padanya, kembali melantunkan panggilan 'Kanda' dengan begitu lembutnya. Hayam Wuruk benar-benar tak bisa menampik bahwa ia sangat menginginkannya lebih dari apapun.

Jangan terlalu berharap, kau mungkin sudah menjadi orang yang paling dibencinya....

"Ya...." Jawab Hayam Wuruk pada suara di pikirannya itu.
"Sepertinya memang begitu."

Lalu haruskah Hayam Wuruk merelakan segalanya? Disaat ia mengetahui bahwa cinta sebenarnya telah begitu dekat dengannya dan Sudewi. Seharusnya dengan kata 'aku mencintaimu Sudewi' sudah cukup membuat Permaisurinya itu berada dalam pelukannya di malam-malam seperti ini. Tentram berdua.

Namun kini semua seakan sudah terlambat. Yang tersisa dalam dirinya hanyalah kegamangan. Walau ingin rasanya Hayam Wuruk berlutut merayu, tapi masih ada gunanya kah? Atau ia harus benar-benar menyerah, dan rela hidup tanpa Sudewi meski akan terasa begitu sulit.

Jika yang dikatakan Patih Gajah Mada memang benar, bahwa Sudewi lah jawaban dari segala rasa kebingungannya, maka Hayam Wuruk harus siap jika selamanya jawaban itu tak akan pernah datang.

"Haruskah?" Tanya Hayam Wuruk lirih pada dirinya sendiri.
"Sudah benar-benar terlambat kah sekarang?"

Perlahan Hayam Wuruk kembali mendongak menatap langit. Dengan wajah yang teramat memohon, ia pun mulai berdo'a.
"Dewa...." Ucap Hayam Wuruk lirih.
"Tolonglah hambamu ini." Pintanya sembari memejamkan mata.
"Berilah sedikit petunjuk padanya."

Dan betapa terkejutnya Hayam Wuruk saat ia perlahan mulai membuka matanya kembali. Jauh diatas langit dengan jumlah yang tak dapat ia hitung, terlihat bintang-bintang yang berlarian. Melesat secepat kilat. Tampak begitu mengagumkan, begitu indah tak terperi.

Hayam Wuruk & Sri SudewiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang