Bab 32

227 32 0
                                    

Sudewi merasa begitu tak enak hati ketika Guru Atharwa menyudahi pertemuan mereka. Dia sama sekali tak bisa berkonsentrasi pada apapun yang dibicarakan oleh gurunya itu. Dia begitu menunduk hormat ketika gurunya itu berlalu pergi, berharap bisa mewakili permintaan ma'afnya yang tak terkatakan pada gurunya itu.

Tampaknya dirinya masih enggan untuk beranjak dari pendopo tempat dirinya terduduk sekarang. Diperhatikannya sekumpulan burung pipit yang terbang hinggap pada pohon beringin di samping pendopo itu. Terlihat begitu ceria. Terlihat begitu ringan seakan tanpa beban. Mau tidak mau hati Sudewi merasa iri melihatnya.

"Yunda Permaisuri...." Panggil seseorang yang seketika menyadarkan Sudewi dari lamunannya.

"Nertaja..." Sudewi tampak tersenyum ketika melihat adik iparnya itu datang mendekat.

"Apakah Yunda ada waktu sebentar?" Tanya Nertaja.

"Tentu saja Nertaja. Apa ada sesuatu yang ingin kau bicarakan?"

"Yunda... sesuai dengan perintah Ibu, aku akan pergi ke Pajang besok." Ucap Nertaja.

"Besok?" Sudewi tampak terkejut dengan perkataan adik iparnya itu.

Perlahan Nertaja mengangguk.
"Ibu berharap itu akan membantuku lebih mengenal wilayah yang akan aku pimpin nantinya." Ucap Nertaja.

"Berapa lama kau akan pergi?"

"Aku akan pergi selama beberapa bulan Yunda."

Sejenak Sudewi bisa menangkap sendu dari kedua mata adik iparnya itu.
"Nertaja..apa kau tak ingin pergi?" Tanya Sudewi.

"Tentu saja aku ingin Yunda, ini akan jadi pengalaman baru untukku. Hanya saja....." Nertaja tampak terdiam.

"Ada apa Nertaja?"

"Hanya saja aku ingin bertemu Kanda Prabu sebelum aku pergi." Ucap Nertaja.
"Apakah dia akan mengantar kepergian ku besok?"

Sudewi bisa melihat kesedihan yang teramat sangat di mata gadis itu.

"Akhir-akhir ini bukankah dia sangat sulit untuk ditemui." Lanjut Nertaja.

"Tak perlu khawatir Nertaja, dia akan menemuimu sebelum kau pergi besok." Ucap Sudewi tersenyum.
"Akan aku pastikan itu."

Secercah senyuman tampak menghiasi wajah Nertaja. Harapannya sangat besar pada apa yang dijanjikan oleh kakak iparnya itu.

"Kalau begitu aku pergi dulu Yunda, banyak yang harus aku persiapkan untuk kepergian ku besok." Ucap Nertaja sembari bangkit dari duduknya.
"Dan terimakasih sebelumnya Yunda." Lanjutnya sembari tersenyum pada Sudewi, sebelum akhirnya pergi berlalu meninggalkan pendopo.

Sudewi tampak memandangi kepergian adik iparnya itu. Kini tinggallah dia sendiri, memikirkan bagaimana harus bicara dan bertemu dengan Hayam Wuruk demi adik iparnya itu. Sebenarnya ingin sekali Sudewi bertemu dengan suaminya itu, tapi Sudewi juga ingin memberinya waktu untuk sendiri.

Perlahan Sudewi bangkit dari duduknya setelah membereskan semua alat tulisnya dan segera berlalu meninggalkan pendopo. Akan dicobanya untuk menemui Hayam Wuruk meski sangat kecil kemungkinan pria itu mau untuk ditemuinya.

"Apakah Prabu Hayam Wuruk ada? Aku ingin bertemu dengan beliau." Ucap Sudewi pada prajurit penjaga, setibanya di depan kamar Hayam Wuruk.

Prajurit itu mengangguk dan segera pergi ke dalam untuk memberitahukan kedatangan sang Permaisuri. Kegelisahan tampak jelas di raut wajah Sudewi ketingga harus menunggu.

"Ma'af Permaisuri, Prabu Hayam Wuruk sedang tidak ingin diganggu saat ini." Ucap prajurit itu ketika telah kembali.

Sudewi tampak menghela nafas panjang. Sepertinya Hayam Wuruk benar-benar tak ingin sedikitpun memberi celah padanya.

Sejenak Sudewi terdiam, memikirkan apa yang harus diperbuatnya kini. Dia sama sekali tak ingin mengecewakan Nertaja yang ingin sekali bertemu dengan kakandanya itu sebelum pergi ke Pajang.

Tiba-tiba Sudewi teringat untuk menulis pesan. Dengan cepat Sudewi meraih alat tulisnya dan menulis sebuah pesan untuk Hayam Wuruk. Sudewi berharap suaminya itu mau membacanya.

"Tolong berikan surat ini pada Prabu Hayam Wuruk." Ucap Sudewi sembari menyodorkan pesan yang baru saja ditulisnya pada sang prajurit penjaga.
"Sampaikan padanya untuk membacanya dengan baik."

"Baik Permaisuri, saya akan memberikan ini pada Prabu Hayam Wuruk." Ucap prajurit itu.

"Terimakasih." Ucap Sudewi sebelum akhirnya pergi berlalu meninggalkan kamar Hayam Wuruk.

Di dalam kamarnya, Hayam Wuruk nampak sedang duduk terdiam. Matanya tampak terpejam, kakinya memang menapak kuat pada lantai kamarnya, namun tidak dengan pikirannya yang masih melayang-layang entah kemana.

"Ma'af Prabu."

Suara itu membuat Hayam Wuruk perlahan membuka matanya. Terlihat prajurit penjaga kamarnya yang kembali masuk.

"Permaisuri Sri Sudewi menitipkan sebuah pesan untuk Anda." Ucap si Prajurit penjaga sembari menyodorkan kertas yang dibawanya pada Hayam Wuruk.
"Beliau meminta Anda untuk membacanya dengan baik Prabu."

Hayam Wuruk nampak terdiam ketika tangannya meraih kertas itu. Perlahan dibacanya isi pesan itu.

Sudewi....

Terbayang olehnya wajah meneduhkan wanita itu ketika selesai membaca pesan yang ditulisnya. Istrinya itu sedang berusaha untuk bicara padanya, tapi apa yang di lakukan Hayam Wuruk? Menghindar dan terus saja menghindar. Bahkan hanya untuk sekedar memberitahu perihal kepergian Nertaja ke Pajang saja, Sudewi harus sampai menulis pesan padanya.

"Apa Permaisuri masih ada disini?" Tanya Hayam Wuruk, berharap Sudewi masih mau menunggunya.

"Tidak Prabu, Permaisuri Sri Sudewi langsung pergi setelah menitipkan pesan ini." Ucap prajurit itu.

Hayam Wuruk seketika berdiri ketika mendengar perkataan dari prajuritnya itu. Dengan langkah lebar, dia tampak bergegas meninggalkan kamarnya. Kakinya melangkah dan terus melangkah tanpa henti. Dia hampir saja tiba di kamar istrinya itu ketika suara pikiran kembali mengganggunya.

Dia hampir saja mati karena mu...

Suara pikiran itu seketika membuat langkahnya terhenti. Ditatapnya nanar pintu kamar Sudewi yang hanya tinggal beberapa langkah di depannya itu.

Berhentilah...
Berhentilah sampai disini ...

Hayam Wuruk & Sri SudewiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang