"Selamat malam Ibu..." Sapa Sudewi begitu memasuki kamar Ibunya, tangannya terlihat sibuk membawa nampan yang berisi penuh makanan.
"Selamat malam Permaisuri..." Ibu Dyah Wiyat yang sedang terduduk di atas tempat tidurnya tampak langsung tersenyum begitu melihat kedatangan putrinya itu.
"Ma'af aku datang sedikit terlambat, Ibu."
"Tak apa Nak..." Ucap Ibu Dyah Wiyat.
"Apa kau sudah bertemu dengan Prabu Hayam Wuruk?"Sembari menata makan malam ibunya di atas meja, Sudewi mengangguk.
"Ia terlihat sangat merindukamu Permaisuri..."
Ucapan Ibunya itu sontak membuat gerakan tangan Sudewi terhenti.
"Setelah ini ikutlah pulang bersamanya ke Trowulan." Pinta Ibu Dyah Wiyat dengan senyum yang begitu mengembang di wajahnya.
"Tak perlu lagi mengkhawatirkan Ibu...""Prabu Hayam Wuruk tak memintaku untuk ikut bersamanya pulang ke Trowulan Ibu." Ucap Sudewi yang membuat senyum di wajah ibunya itu seketika memudar.
"Tak perlu sampai ia memintanya, Nak." Ucap Ibu Dyah Wiyat.
"Kau adalah istrinya, maka sudah seharusnya kau berada di sampingnya."Sudewi kembali terdiam, benar-benar tak tahu bagaimana harus bersikap atas ucapan ibunya itu.
"Kau pun bisa melihatnya sendiri Permaisuri, Ibu sudah jauh lebih sehat sekarang. Mulai besok pun Ibu ingin makan bersama kalian semua, kau tak perlu menyuapi Ibu lagi, Nak."
"Apakah Ibu ingin aku segera pergi dari sini?" Ucap Sudewi yang menatap begitu sedih pada ibunya itu.
"Permaisuri...." Dengan lembut Ibu Dyah Wiyat lantas menggenggam tangan putrinya itu.
"Seandainya saja bisa, ibu bahkan ingin kau tak pergi kemanapun selain berada disisi Ibu Nak, tapi Ibu pun menyadari siapa putri Ibu ini sekarang."Perlahan Sudewi tertunduk, merasa begitu bersalah karena sudah berkata seperti itu pada Ibunya.
"Ma'afkan atas ucapanku, Ibu.""Oh anakku....." Sekali lagi Ibu Dyah Wiyat tersenyum, dipereratnya genggaman tangan pada putrinya itu.
"Kau memanglah seorang putri di Daha, tapi satu hal yang tak boleh kau lupa, bahwa kau juga adalah seorang Permaisuri bagi Majapahit. Kau tak bisa meninggalkan Trowulan dan Prabu Hayam Wuruk terlalu lama Nak..."Rasanya begitu enggan bagi Sudewi untuk mengangguk pada perkataan ibunya itu. Ada suara-suara yang lalu terdengar saling berdebat di dalam kepalanya. Ia pun hanya bisa menunduk semakin dalam, sama sekali tak ingin memperlihatkan raut wajahnya yang begitu kusut.
"Dan tidakkah kau juga merindukannya?"
Sudewi seketika menegakkan kepalanya. Pertanyaan yang baru saja didengarnya benar-benar membuat kegetiran kian terasa di dalam hatinya.
Bagaimana jika aku sudah tak menginginkan rindu itu lagi ibu?
Sekali lagi Sudewi memberanikan diri untuk menatap wajah ibunya. Ada senyum bahagia disana yang membuat Sudewi semakin gagap harus menjawab apa. Dan tak ada hal lain yang bisa dipilihnya saat ini selain membalas senyum ibunya itu.
"Makanlah dulu Ibu...." Pintanya.
"Tak perlu merisaukan masalah itu."Dengan senang Ibu Dyah Wiyat mengangguk. Senyum di wajahnya terlihat kian mengembang, ia pun menurut saat putrinya itu mulai menyuapkan makan malam padanya.
****
Sudewi begitu terdiam saat mulai berjalan keluar dari kamar ibunya. Dengan langkah gamang, dibawanya nampan makanan yang telah kosong. Matanya nampak nanar memandangi keraton Daha yang kini telah sunyi, paseban pun sepi, tak ada lagi Hayam Wuruk ataupun ayahnya yang sedang duduk disana.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hayam Wuruk & Sri Sudewi
Historical Fiction"Tak perlu menuliskan seberapa besar rasa cinta di antara kita di atas selembar kertas." "Jika seseorang mengingatku ketika mendengar namamu disebut, maka ia telah mengerti betapa besarnya rasa cinta itu ." "Meskipun seseorang hanya akan mengenal na...