Bab 100

227 22 16
                                    

Lewat mata sayunya, Hayam Wuruk tampak memandangi tempat kosong disampingnya. Begitu ia membuka matanya pagi ini, dilihatnya sudah tak ada siapapun disana, seketika membuat kecewa hatinya yang sebenarnya masih teramat rindu. Lantas dengan begitu perlahan dirabanya tempat itu, tepat dimana Sudewi berbaring semalam. Terasa begitu dingin, menandakan bahwa telah lama sudah Permaisurinya itu beranjak dari tidurnya.

Disaat rasa kecewanya itu bertambah, tiba-tiba saja ada sesuatu yang justru perlahan memaksa Hayam Wuruk untuk memunculkan senyumnya, tatkala di udara yang baru saja dihirupnya, tercium bau harum khas Sang Permaisuri yang tertinggal. Bau harum yang sama yang membawanya dalam ketentraman tidur renyap semalam. Menyeruak seakan ingin sedikit menghibur hati Raja Majapahit itu. Meski samar-samar, namun terasa begitu menggoda kala menggelitik indera penciumannya.

"Sudewi....."

Terdengar suara lembut Hayam Wuruk yang lantas memanggil sang pemilik bau harum itu. Ia sadar betul kekasihnya itu masih begitu marah padanya. Bahkan dengan begitu jelas Hayam Wuruk bisa melihat penolakan di setiap tatapan mata indah wanita itu. Terasa menghujam memang, tapi sungguh itu tak mengapa.

"Di dalam lubuk hatinya yang paling dalam, tak ada yang ditunggunya selain Anda."

Ya, tak bisa terlupakan begitu saja kata-kata yang diucapkan wanita paruh baya dalam Pura kala itu dan betapa Hayam Wuruk akan selalu mempercayainya. Jadi, tak peduli sekeras apapun Sudewi akan menolaknya, maka sekeras itu pula Hayam Wuruk akan berusaha meluluhkannya. Ia tak kan membiarkan dirinya sendiri berpikir untuk menyerah meski hanya sekelumit. Tak akan pernah. Kemarin barulah hari pertamanya, kalaulah diperlukan beribu-ribu hari bagi Hayam Wuruk untuk membujuk, maka tanpa mengeluh ia akan melakukannya.

Perlahan saja Sudewi....
Jika itu yang kau mau, maka perlahan saja....

Hayam Wuruk pun kembali tersenyum. Dengan segenap keyakinan dalam hatinya itu, ia akhirnya memilih untuk bergegas bangkit dari tidurnya. Setelah membersihkan diri dan mengganti pakaiannya, tanpa menunda lagi ia pun segera melangkahkan kaki keluar dari kamar istrinya itu.

Dengan begitu menggebu, Hayam Wuruk lantas mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru keraton Daha. Mencari-cari dimana keberadaan Sang Permaisuri atau paling tidak siapapun yang bisa ditanyainya. Dan betapa senangnya ia saat mendapati dua orang dayang yang kebetulan terlihat sedang sibuk membersihkan pot-pot gerabah yang berjejer-jejer di pelataran Paseban.

"Apakah kalian tahu dimana Permaisuri?"

Suara tanya dari Hayam Wuruk yang tiba-tiba terdengar seketika membuat dayang-dayang itu memutar simpuhnya dan betapa kagetnya mereka saat melihat siapa ternyata orang yang sedang bertanya itu.

"Se- Selamat pagi Prabu...." Ucap kedua dayang itu serempak sembari buru-buru menundukkan kepalanya. Ada kegugupan yang terlihat jelas di masing-masing wajah dayang itu saat berhadapan dengan Sang Prabu.

"Selamat pagi...." Jawab Hayam Wuruk yang tersenyum melihat sapaan gugup para dayang itu.
"Apakah kalian tahu dimana Permaisuri?" Ucapnya kemudian, mengulangi kembali pertanyaan yang tadi belum sempat terjawab.

"Ma'af Prabu, tadi saya melihat Permaisuri sedang ada di dapur." Jawab salah satu dayang itu.

"Dapur?" Ulang Hayam Wuruk.
"Kalau begitu dimana dapur?"

"Saya akan memanggilkan Permaisuri untuk Anda, Prabu." Terlihat seorang dayang yang dengan terburu-buru bangkit dari simpuhnya.

"Tidak, tak perlu." Potong Hayam Wuruk yang lantas membuat dayang itu kembali bersimpuh dengan bingung.
"Biar aku yang menemuinya sendiri, kalian tak perlu memanggilnya." Tambah Hayam Wuruk lagi.
"Tunjukan saja dimana dapurnya."

Hayam Wuruk & Sri SudewiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang