Dua hari telah berlalu semenjak perayaan di Bubat. Para utusan kerajaan bawahan, pejabat desa dan tamu undangan banyak yang telah kembali pulang setelah dilakukan perjamuan terakhir di keraton sehari sebelumnya. Keramaian Kota Raja Trowulan kini tampak berjalan sebagaimana biasanya.
"Permaisuri!"
Sudewi yang baru saja menyelesaikan pertemuannya dengan Guru Atharwa tampak menoleh ketika mendengar suara seseorang memanggilnya.
"Ibu..." Senyumnya seketika mengembang ketika dilihatnya Ibu Dyah Wiyat yang sedang berjalan mendekat.
"Aku baru saja akan pergi menemui Ibu. Apakah Ibu jadi pulang siang ini?"Perlahan Ibu Dyah Wiyat tampak mengangguk.
"Ibu kemari karena ingin berpamitan padamu Nak.""Kenapa tak tinggal lebih lama di Trowulan Ibu?"
"Ibu sangat ingin lebih lama berada disini, tapi...kau tahu sendiri kami tak akan bisa meninggalkan Daha terlalu lama."
"Aku sangat kecewa ketika Yunda Indudewi langsung bertolak ke Lasem selepas perjamuan tempo hari, dan sekarang Ibu pun ingin buru-buru pulang ke Daha juga."
Ibu Dyah Wiyat tampak tersenyum begitu lembut melihat putrinya yang sedikit merajuk itu.
"Ma'afkan Ibu Permaisuri.""Kapan lagi kita akan bisa bertemu Ibu?" Ucap Sudewi dengan begitu sedih.
"Secepatnya kita pasti akan bisa bertemu kembali, Permaisuri." Ucap Ibu Dyah Wiyat sembari menggenggam tangan putrinya itu.
"Dan...ma'afkan atas segala yang dikatakan ayahmu padamu." Kini Ibu Dyah Wiyat tampak menatap putrinya itu dengan mata berkaca-kaca, ingatannya tergiring kembali pada perkataan suaminya yang begitu terasa menyakiti hati.
"Ibu sama sekali tak ingin itu merusak kebahagiaanmu Nak.""Jangan pernah mengkhawatirkan hal itu Ibu." Pinta Sudewi lembut.
"Apapun yang dikatakan Ayah tidak akan mengganggu ku sama sekali. Ku akui itu sempat membuatku sedih Ibu, tapi sungguh aku merasa baik-baik saja sekarang."Dengan penuh kasih Ibu Dyah Wiyat tampak mengusap lembut wajah putrinya itu.
"Tahukah Ibu apa kebahagiaan terbesar ku saat ini?" Tanya Sudewi.
"Aku telah mencintainya Ibu." Ucap Sudewi akhirnya, senyumnya tampak begitu indah saat mengatakan itu.
"Aku telah mencintai Prabu Hayam Wuruk." Ucapnya sekali lagi dengan begitu jujur.
"Itulah kebahagiaan ku saat ini. Dan aku sendirilah yang akan menggenggam kebahagiaan ku itu, suara-suara sumbang ataupun sikap-sikap dingin seperti itu tak akan mempengaruhinya sedikitpun."Ibu Dyah Wiyat tampak menggenggam lebih erat tangan putrinya itu.
"Jadi janganlah pernah mengkhawatirkan itu lagi Ibu." Pinta Sudewi sembari mengusap lembut air mata yang mulai jatuh di pipi ibunya itu. Kini dengan perasaan cinta yang dimilikinya untuk Hayam Wuruk, Sudewi merasa punya alasan yang paling kuat untuk merasa bahagia, bahkan rasanya tak pernah dia merasa sebahagia ini seumur hidupnya. Meskipun kenyataannya dia belum tahu apakah Hayam Wuruk akan menerimanya atau tidak seandainya pria itu tahu bahwa Sudewi telah mencintainya, tapi itu tak jadi masalah, asalkan Sudewi bisa selalu berada disampingnya.
"Tak ada yang lebih membahagiakan hati seorang Ibu selain melihat kebahagiaan pada kehidupan putra-putrinya, Permaisuri." Ucap Ibu Dyah Wiyat.
"Itu adalah hal yang ibu do'akan setiap hari untukmu dan yundamu."Sudewi tampak tersenyum mendengar perkataan ibunya itu baginya tak ada hal yang lebih indah dari do'a seorang ibu.
"Baiklah kalau begitu Permaisuri, Ibu harus segera pergi sekarang." Ucap Ibu Dyah Wiyat sembari mengusap air matanya yang masih membasahi pipinya.
"Ayahmu pasti telah menunggu.""Mari aku antar sampai ke depan Ibu." Ucap Sudewi.
Keduanya pun tampak bergandengan tangan menuju halaman depan keraton. Setibanya mereka disana, terlihat Raden Kudamerta yang sedang berdiri ditemani oleh Hayam Wuruk, di dekat mereka terlihat jajaran kereta yang telah siap untuk bertolak ke Daha.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hayam Wuruk & Sri Sudewi
Ficção Histórica"Tak perlu menuliskan seberapa besar rasa cinta di antara kita di atas selembar kertas." "Jika seseorang mengingatku ketika mendengar namamu disebut, maka ia telah mengerti betapa besarnya rasa cinta itu ." "Meskipun seseorang hanya akan mengenal na...