Bab 8

320 33 0
                                    

Sudewi nampak terbangun dengan mata sembab yang lagi-lagi menghiasi wajahnya pagi ini. Dengan seutas senyum yang masih sanggup diperlihatkannya, dia berjalan menuju kediaman Guru Byakta secepat yang bisa dimungkinkan oleh kakinya. Dia merasa setiap detik yang akan terlewati dalam 2 hari ini adalah berharga, tak boleh terlewat begitu saja.Tak kan disia-siakannya waktu yang hanya tersisa 2 hari untuk merasakan kesenangan dalam meneguk kebebasan hidupnya. Akan dipuaskannya dirinya sendiri, sebelum perpisahan itu terjadi.

Namun begitulah waktu, yang terasa seakan mengkhianati ketika kita benar-benar menikmatinya. Mereka seakan-akan berlalu 10 kali lebih cepat dari biasanya. Sudewi merasa baru beberapa saat yang lalu merasakan sejuknya matahari pagi menembus jendela ruang belajarnya bersama Guru Byakta, namun kini sang surya lagi-lagi telah mencondongkan dirinya ke barat.

"Baiklah Putri...cukup sampai disini untuk hari ini, kita akan berjumpa lagi besok." Ucap Guru Byakta untuk menyudahi pertemuan mereka.

"Terimakasih untuk hari ini Guru dan .." Sudewi nampak terdiam seakan ragu untuk meneruskan kata-katanya.

"Apa ada sesuatu yang ingin anda sampaikan Putri?" Tanya Guru Byakta.

Sudewi nampak menghela nafas sesaat sebelum mulai berbicara kembali.
"Guru....besok adalah hari terakhir saya belajar disini bersama Anda. Saya harus..." Sekali lagi Sudewi merasa begitu ragu untuk mengatakan alasannya.

Guru Byakta begitu terhenyak mendengar perkataan Sudewi. Namun sejurus kemudian beliau nampak tersenyum, seakan mengerti apa yang akan dikatakan muridnya itu.

"Putri, saya pun telah mendengar tentang berita rencana pernikahan Anda dan Prabu Hayam Wuruk. Saya cukup bisa mengerti jika Anda tak kan bisa belajar lagi bersama kami disini" Ucap Guru Byakta.
"Dan sebagai calon permaisuri negeri ini, memang sudah selayaknya anda menghabiskan waktu untuk mempersiapkan diri sebaik mungkin."

Sudewi nampak memaksakan seutas senyum tipis di bibirnya.

"Paling tidak kita masih bisa berjumpa lagi besok bukan?." Ucap Guru Byakta, sekali lagi tersenyum.

"Iya Guru." Ucap Sudewi mengangguk, seakan sedang meyakinkan dirinya sendiri atas perkataan gurunya itu. Namun hatinya seketika runtuh ketika gurunya itu telah pergi meninggalkannya sendiri di dalam ruangan. Mungkin Guru Byakta akan bisa melihat air matanya menetes kalau saja beliau tak keburu berlalu.

Semua semangat yang coba dikumpulkannya dalam hati sedari pagi tadi seakan kini mencair tanpa sisa. Entah mengapa mendengar setiap ucapan dari gurunya itu justru membuat hatinya semakin berat untuk melepaskan.

Tidak Sudewi, kau tak boleh seperti itu....

Sekali lagi Sudewi mencoba untuk mempertahankan semangat hidup dalam hatinya yang sudah tinggal setipis kertas. Diusapnya perlahan air mata yang mengalir di pipinya. Segera dibereskannya alat-alat tulisnya yang masih berserakan. Tampak dihelanya nafas dalam-dalam sebelum berlalu pergi meninggalkan ruang belajarnya itu.

Langkah kakinya nampak terhenti ketika dilihatnya Arnawama yang sedang berjalan ke arahnya. Pria itu juga nampak kaget, seakan tak menyangka akan berpapasan dengan Sudewi. Tanpa kata, ataupun tanpa senyum yang selalu diperlihatkannya, Arnawama dengan begitu saja berlalu melewati Sudewi. Hanya sebuah anggukan kecil yang diberikannya pada gadis itu.

"Kakang..." Panggil Sudewi yang nampak bingung, namun panggilan itu tak cukup membuat Arnawama menghentikan langkahnya.

"Kakang, besok adalah hari terakhir ku disini!!" Ucap Sudewi akhirnya.

Perkataan itu berhasil membuat langkah Arnawama seketika terhenti. Dengan perlahan tubuhnya berbalik untuk memandang gadis itu. Sorot matanya nampak begitu tajam seakan ingin mengucapkan sesuatu.

"Besok adalah hari terakhirku Kakang." Ucap Sudewi sekali lagi.

Dengan perlahan Arnawama nampak mengangguk, senyum tipis nampak menghiasi bibirnya. Namun tetap saja tak ada satu kata pun yang terucap dari pria itu. Sejurus kemudian pria itu nampak berbalik kembali dan berlalu pergi, meninggalkan Sudewi sendiri dengan perasaan sendunya.

****

Seketika Arnawama jatuh terduduk di lantai, ketika langkahnya tiba di dalam kamarnya.

"Besok adalah hari terakhir ku disini."

Kata-kata itu benar-benar melekat dibenak Arnawama. Sedari semalam dia berusaha meyakinkan dirinya sendiri bahwa dia bisa merelakan Sudewi pergi, tapi kini ketika berpapasan dengan gadis itu tadi, keyakinan Arnawama seketika runtuh. Seandainya saja tadi dia tak menahan dirinya, sudah akan dipeluknya erat gadis itu. Akan dikatakannya segala perasaannya. Akan dimintanya gadis itu untuk tetap disini bersamanya. Jika perlu dia akan berlutut di depan gadis itu untuk memohon.

Dia adalah calon istri rajamu Arnawama....

Arnawama nampak terhenyak dengan apa yang baru saja terlintas dipikirkannya. Ya kini semuanya telah terlambat, gadis itu memang harus pergi. Tak kan ada lagi kesempatan bagi Arnawama untuk bersamanya, menemaninya meraih segala yang diimpikannya.

Kini tinggallah bagaimana Arnawama bisa mengikhlaskan perasaannya. Haruskah Sudewi tahu perasaannya? Hanya sekedar tahu saja, itu akan sudah lebih dari cukup bagi Arnawama. Dia tak akan berharap lebih pada seorang gadis yang sampai kapanpun tak kan bisa dimilikinya itu.

Tiba-tiba matanya tertuju pada tumpukan kertas kosong di atas meja kamarnya. Sepertinya dia tahu apa yang harus dilakukannya untuk terakhir kali pada Sudewi.

****

Sudewi benar-benar tak bisa tertidur malam ini. Seberusaha apapun matanya untuk terpejam, namun kepalanya akan tetap terbangun untuk memikirkan kesedihan hatinya. Besok adalah hari terakhirnya merasakan kebebasan, merasakan hal yang membuat hidupnya jauh lebih berarti. Kini hanya kesenduan yang tersisa pada dirinya. Betapa tidak, 8 tahun sudah dia belajar pada Guru Byakta, selama itu pula semangat hidup untuk mencapai apa yang diimpikannya membumbung tinggi. Dulu Sudewi sempat berfikir bahwa dia akan terus belajar pada Guru Byakta sampai dia benar-benar siap menjadi seorang sastrawan. Itu adalah impiannya. Namun kini kenyataannya berbeda. Semuanya telah berakhir. Semuanya kini tak lebih dari sekedar kenangan bagi Sudewi.

Sudahlah Sudewi, ini adalah keputusanmu sendiri. Berhentilah merutuki nasibmu....

Dengan susah payah dihelanya nafas dalam-dalam, seberusaha mungkin ditahannya air mata yang sudah berada di ujung pelupuk mata.

Entah dimana, sayup-sayup Sudewi dapat mendengar suara ayam berkokok dikejauhan. Dilihatnya langit yang masih begitu gelap di luar jendela kamarnya yang terbuka.

Apakah ini sudah pagi?

Ternyata otaknya benar-benar tak membiarkan Sudewi untuk tertidur barang sebentar saja. Dengan perlahan dia nampak bangkit dari tidurnya. Tak akan ada gunanya bila dia tetap terbaring. Dihampirinya jendela besar kamarnya. Dipandangnya langit yang masih menghitam di luar, tak ada bulan, hanya bintang yang sesekali berkedip. Tak berapa lama semburat merah tipis mulai nampak di langit timur. Menandakan sang Surya yang telah bersiap untuk hadir. Berusaha dinikmatinya pemandangan langit pagi hari itu, berharap bisa sedikit saja mengurangi kesedihannya.

Hayam Wuruk & Sri SudewiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang