Bab 39

209 31 2
                                    


Hayam Wuruk masih saja termenung di mejanya perihal keputusan yang akan diambilnya. Sebagian dari mereka yang setuju beralasan bahwa ini demi kepentingan Majapahit sendiri. Tak bisa dienyahkannya kenyataan bahwa Majapahit memang masih sangat membutuhkan seorang patih secakap Gajah Mada.

Namun sekali lagi Hayam Wuruk juga tak bisa mengesampingkan alasan dari mereka yang tidak setuju. Alasan terkuat mereka adalah ingatan tentang bagaimana tragedi di Bubat itu bisa terjadi. Hayam Wuruk dapat mengerti itu. Bagaimanapun juga, apa yang terjadi di Bubat telah membawa warna kelam tersendiri bagi Majapahit dan Hayam Wuruk sendiri.

Dipandangnya langit malam di luar jendela. Tampak begitu kelam, hanya ada kegelapan. Tak ada bulan ataupun bintang gemintang.

Sudewi...

Entah kenapa pemandangan langit selalu mengingatkan Hayam Wuruk pada istrinya itu. Apakah karena memang wanita itu sangat menyukainya? Hayam Wuruk tahu itu, langit adalah sesuatu yang disukai Sudewi selain buku-bukunya. Tapi langit nampak begitu tak bersahabat malam ini.

Apakah dia masih akan memandanginya?

Senyum terbit di wajah Hayam Wuruk. Seakan ada sesuatu yang sedang menggoda hatinya. Ya menggodanya untuk sebentar saja bertemu. Perlahan kakinya mulai melangkah tanpa diperintah. Berlalu meninggalkan kamarnya dan Hayam Wuruk tak perlu bertanya kemana kakinya akan membawanya pergi.

****

Sudewi tampak memandangi kilatan-kilatan cahaya kecil di sela-sela awan gelap. Bagi Sudewi kilatan-kilatan kecil itu sama mengagumkannya dengan sinar bulan yang cemerlang atau gemerlapnya bintang malam. Tapi sepertinya isi pikirannya benar-benar terbagi sekarang. Bagaimanapun dia berusaha, dia tetap tak bisa mengenyahkan setiap kata-kata yang meluncur dari mulut ayahnya senja tadi.

"Dengan pengaruhmu pada suamimu itu, jangan biarkan Gajah Mada masuk kembali ke keraton ini."

Kata-kata itu masih saja terngiang-ngiang di telinga Sudewi.

"Sebatas keinginan tidak lah cukup untuk membiarkan seseorang yang telah bersalah kembali menginjakkan kaki disini Permaisuri."

Sesalah itukah keinginan suaminya? Sudewi yakin apapun yang dipikirkan Hayam Wuruk adalah semata-mata demi Majapahit.

Sebuah kilatan petir kembali mengalihkan perhatian Sudewi. Tampaknya malam ini awan gelap terasa begitu berbeda daripada malam-malam mendung sebelumnya.

"Apa yang sedang kau lihat Sudewi?"

Tiba-tiba sebuah suara mengagetkan Sudewi dari lamunan panjangnya. Dilihatnya Hayam Wuruk yang baru saja masuk dan perlahan tampak berjalan mendekat.

"Tak ada bulan ataupun bintang di langit, apa yang sedang kau pandangi?" Tanya Hayam Wuruk sekali lagi.

"Kanda..." Sudewi tampak tersenyum melihat kedatangan suaminya itu.
"Keindahan langit bukan hanya milik bulan dan bintang Kanda."

"Apa aku mengganggumu?" Tanya Hayam Wuruk sembari duduk di depan istrinya itu.

Sudewi menggeleng, senyum nampak masih menghiasi bibirnya.

"Kau tak pergi menemui Ibu Dyah Wiyat?"

"Aku ingin sekali Kanda, tapi sepertinya aku harus membiarkan ibu beristirahat terlebih dahulu, aku bisa mengobrol lagi dengannya besok."

Hayam Wuruk tampak mengangguk-angguk mendengar perkataan istrinya itu. Sejurus kemudian matanya teralihkan pada langit yang begitu gelap, sesekali kilatan kecil petir kembali menghiasi langit gelap itu.

"Tidakkah mendung malam ini sangat berbeda Sudewi?" Tanya Hayam Wuruk.
"Terlalu pekat jika hanya akan sekedar lewat seperti malam-malam sebelumnya."

Sudewi tampak mengangguk kecil. Diperhatikannya Hayam Wuruk yang masih terpaku pada gelapnya langit. Pada wajah yang sedang tersenyum tipis itu Sudewi bisa membaca, bahwa nama Gajah Mada lah yang sedang merajai isi pikirannya.

"Kanda..."

"Ya?"

"Apa Kanda sudah membuat keputusan?"

Hayam Wuruk menggeleng.
"Aku masih terlalu ragu Sudewi. Mungkin aku butuh beberapa hari untuk memutuskannya."

Sudewi terdiam, teringat kembali setiap kata yang diucapkan oleh ayahnya tadi. Tidak, Sudewi jelas tidak akan menurutinya. Setiap keputusan adalah mutlak milik Hayam Wuruk, yang bisa dilakukannya hanya memberi saran dan pendapat yang sekiranya baik bagi suaminya itu. Dan apapun yang akan diputuskan oleh Hayam Wuruk, Sudewi akan selalu mendukungnya, karena Sudewi tahu itulah yang terbaik bagi Majapahit.

"Kanda..apakah kau pernah bertemu dengan Paman Gajah Mada lagi setelah beliau tak lagi jadi Mahapatih?" Tanya Sudewi.

"Aku belum pernah bertemu dengannya lagi setelah dia diberhentikan dan pergi ke Madakaripura Sudewi." Ucap Hayam Wuruk.

"Hmm...kenapa Kanda tak mencoba bertemu dan berbicara padanya?" Ucap Sudewi.

"Maksudmu?" Tanya Hayam Wuruk, tampak tak mengerti dengan perkataan istrinya itu.

"Jika Kanda memang masih ragu, kenapa tak mencoba untuk bertemu dengannya terlebih dahulu. Bicarakan lah apa yang memang perlu dibicarakan, jadi Kanda bisa tahu apakah Paman Gajah Mada memang layak untuk diangkat kembali atau tidak." Ucap Sudewi. Bisa dilihatnya Hayam Wuruk yang tampak termenung memikirkan perkataannya itu.

"Bagaimanapun juga perang di Bubat telah berlalu. Jika pada saat itu kita masih diselimuti oleh amarah, mungkin saat ini kita bisa lebih berpikir jernih. Dan akan lebih tepat untuk memutuskan sesuatu." Ucap Sudewi lagi.

Hayam Wuruk seketika tersenyum mendengar kata-kata Sudewi. Apa yang dikatakan istrinya benar. Dia harus bertemu dan bicara dengan Gajah Mada. Diakuinya memang dulu amarah benar-benar menguasainya dalam mengambil keputusan, bahkan dia masih ingat betapa tak terimanya dia dengan apapun penjelasan yang diutarakan oleh Patihnya itu atas apa yang terjadi di Bubat, baginya saat itu tak ada yang lebih pantas selain sebuah hukuman bagi orang yang telah dianggapnya bersalah itu.

Kini jika memang ada kesempatan bagi mereka untuk bertemu kembali, Hayam Wuruk berharap bahwa dirinya akan bisa berpikir lebih jernih dalam menyikapi kesalah pahaman yang terjadi diantara mereka.

"Bagaimana Kanda?" Tanya Sudewi.

"Aku akan mencobanya Sudewi , sepertinya aku memang harus bertemu dengannya terlebih dahulu." Ucap Hayam Wuruk.
"Aku akan mengirim surat ke Madakaripura besok, semoga secepatnya aku bisa bertemu dengan Paman Gajahmada."

Sudewi nampak tersenyum mendengar langkah yang diambil oleh suaminya itu. Semoga saja pertemuan diantara keduanya nanti bisa membawa Hayam Wuruk pada sebuah keputusan yang tepat bagi Majapahit.

Tik tik tik....

Tiba-tiba saja terdengar suara tetes-tetes air yang jatuh mengenai tanah. Membuat perhatian Hayam Wuruk dan Sudewi seketika teralihkan pada pemandangan di luar teras. Keduanya tampak sama-sama memicingkan mata untuk mencari keberadaan tetesan air hujan di gelapnya malam.

"Hujan pertama Majapahit tahun ini Sudewi." Ucap Hayam Wuruk tersenyum ketika menyadari di luar sedang benar-benar turun hujan.

"Kau benar Kanda." Ucap Sudewi sembari mengamati tetesan-tetesan air hujan yang semakin jelas terlihat.

"Bukankah ini pertanda baik." Ucap Hayam Wuruk.
"Seakan Dewa sedang memberikan petunjuk untuk kita Sudewi."

Sudewi bisa melihat senyum penuh harapan di wajah Hayam Wuruk ketika mengatakan itu. Senyum itulah yang selalu ingin dilihat Sudewi dari suaminya itu.

Perlahan Sudewi tampak memejamkan kedua matanya, dihirupnya dalam-dalam harum tanah yang begitu khas di antara udara segar yang berhembus masuk. Begitu membahagiakan, seakan hembusan itu memang penuh dengan harapan.

Tanpa disadari Sudewi, seseorang yang ada dihadapannya itu sedang memandangnya lekat-lekat, memandang penuh senyum pada wajah cantik yang sedang menikmati syahdunya hujan pertama Majapahit itu.

Hayam Wuruk & Sri SudewiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang