Bab 91

243 23 9
                                    

"Permaisuri..."

Sudewi yang sedang duduk termenung di depan mejanya sontak menoleh saat mendengar panggilan lembut dari dayangnya.

"Apakah Anda ingin berangkat sekarang?" Tanya Hayi.

"Apa semua barang-barang ku sudah dibawa?" Tanya Sudewi.

"Semuanya telah siap Permaisuri." Ucap Hayi, tersenyum pada tuannya itu.

Sudewi mengangguk singkat. Kini pandangan matanya beredar menyapu setiap sudut kamarnya. Kamar yang semalaman menjadi saksi betapa sulitnya Sudewi untuk sekedar memejamkan mata. Kamar yang akan ditinggalkannya sebentar lagi dan entah apakah ia akan melihatnya kembali atau tidak.

Dan pandangan matanya berhenti saat melihat satu benda yang berkilau diterpa sinar matahari pagi yang terik. Diangkatnya benda itu dari tumpukan buku di atas mejanya. Gelang manik-manik merah jambu, yang sempat dikenakannya dengan penuh cinta. Kini tak lebih dari sekedar pengingat harapan yang sudah tak lagi ada. Diremasnya erat-erat gelang manik-manik itu, sebelum akhirnya meletakkannya kembali di atas tumpukan bukunya.

"Anda ingin berangkat sekarang?" Tanya Hayi sekali lagi dengan begitu lirih, betapa pedih hatinya melihat kesedihan tuannya itu.

"Ya Hayi...." Ucap Sudewi.
"Kita akan berangkat sekarang."

Keduanya pun segera melangkahkan kakinya keluar kamar. Menyusuri lorong-lorong keraton menuju halaman depan, dimana semuanya telah siap untuk mengantar kepergian Permaisuri Majapahit itu.

Sudewi tersenyum melihat adik, ayah serta ibu mertuanya yang telah berdiri berdampingan saat dirinya tiba.

"Berhati-hatilah di jalan Yunda." Ucap Nertaja saat kakak iparnya itu telah berdiri dihadapannya.
"Semoga Bibi Dyah Wiyat segera sembuh."

"Ya...." Ucap Sudewi, berusaha menampilkan senyum terbaiknya.
"Terimakasih Nertaja."

"Janganlah terlalu cemas Nak." Ucap Raden Cakradara.
"Sampaikan salam pada ayah dan ibumu."

"Iya Ayah...."

Mata Sudewi lantas kembali sendu saat menatap Ibu Suri Dyah Gitarja yang tampak berkaca-kaca. Bisa dirasakannya kesedihan ibu mertuanya itu saat perlahan memeluk tubuhnya yang berdiri terdiam.

"Berhati-hatilah di jalan Nak...." Ucap Ibu Suri Dyah Gitarja sembari perlahan melepas pelukannya itu.
"Kembalilah lagi..." Pintanya kemudian, keresahan begitu jelas terlihat pada sorot matanya.
"Kembalilah secepat mungkin setelah ibumu sembuh. Ibu akan selalu menunggumu untuk pulang kembali ke Trowulan."

Berat bagi Sudewi untuk mengangguk, takut jika ia tak bisa memenuhi permintaan ibu mertuanya itu. Hanya sebuah tundukan kepala yang begitu dalam yang bisa ditunjukkannya sebagai pengganti. Masih bisa dirasakannya kesenduan tatapan ibu mertuanya itu bahkan saat ia telah mulai melangkah menjauh.

Sudewi pun terhenyak saat melihat Hayam Wuruk yang sedang berdiri tepat di samping kereta yang akan membawanya pergi. Dengan mata yang lagi-lagi terlihat begitu sembab, pria itu memandangi sang Permaisuri yang perlahan datang mendekat.

Tak ada satu kata pun yang terucap saat keduanya telah berhadapan. Bahkan tatapan keduanya pun tak mampu menjelaskan apapun. Hanya kehampaan yang tersirat dari masing-masing mata yang saling memandang itu.

Hayam Wuruk & Sri SudewiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang