Sudewi bisa melihat bulan separuh yang sedang mengintip di sela-sela awan hitam. Sesuai arahan sang angin, terkadang awan hitam itu akan menutupi bulan sepenuhnya dan terkadang lagi membiarkan bulan itu nampak gagah dengan sinarnya meski hanya sesaat. Udara terasa begitu dingin meski hujan sedang tak mengguyur Majapahit malam ini. Cukup dingin bagi hati Sudewi yang terasa begitu kalut.
"Jika sakitnya terasa lebih menyakiti Anda, dan senyumnya adalah sesuatu yang Anda do'akan setiap hari, bukankah itu artinya Anda mencintainya?"
Kata-kata Zuànshí terus terngiang-ngiang di kepala Sudewi. Seakan gadis itu memang sedang berbisik di telinganya saat ini.
"Anda merelakan mimpi demi berada disamping seseorang, menurut Anda apa yang mendorong Anda untuk melakukan itu? Terlebih lagi ketika Anda memilih untuk bertahan disampingnya, tak ada yang membuat Anda seperti itu kecuali rasa cinta bukan?"
Sudewi merasa begitu bingung dengan pertanyaan Zuànshí. Pada awalnya dia memang merasa harus bertanggung jawab dengan apa yang telah dijanjikannya pada Ibu Suri Dyah Gitarja dan Majapahit. Sehingga dia harus merelakan segala impiannya, tapi apa yang membuatnya mampu bertahan sampai sejauh ini? Bahkan kini baginya mendampingi dan mendukung Hayam Wuruk adalah segala-galanya. Apa benar itu karena dia merasa masih terikat dengan janji yang pernah dibuatnya? Ataukah hatinya memang telah merasakan sesuatu yang berbeda?
Sudewi tampak mengigit bibirnya. Apa dia mampu memiliki perasaan lebih pada kakak sepupunya itu? Benarkah itu telah terjadi padanya? Perlahan dipejamkannya matanya.
"Hanya ada satu yang mampu menjawab pertanyaan Anda...yaitu hati Anda sendiri."
Itulah... Justru jawaban itulah yang sulit diminta Sudewi dari hatinya sendiri. Kenapa rasanya begitu enggan untuk mengakui?
"Sudewi..."
Suara panggilan itu seketika membuat mata Sudewi terbuka. Perlahan dia tampak menoleh untuk melihat pada si pemilik suara yang sedang berjalan mendekat itu. Sosok yang sedang merajai isi pikirannya saat ini.
"Kau menungguku?" Tanya Hayam Wuruk dengan senyum indahnya.
Diam. Itulah yang dilakukan Sudewi. Dia tak tahu bagaimana dia harus menjawabnya. Ya atau tidak, mengangguk atau justru menggeleng.
"Bukankah sepertinya musim penghujan akan segera berlalu Sudewi?" Ucap Hayam Wuruk sembari terududuk dihadapan istrinya itu. Matanya tampak menerawang jauh ke atas langit.
"Hmmm...sepertinya iya." Ucap Sudewi lirih, pandangannya tampak menunduk, entah apa yang sebenarnya sedang dipandangnya saat ini. Tak ada apapun di bawah meja.
"Sudewi..." Panggil Hayam Wuruk lembut, membuat pandangan Sudewi perlahan kembali pada pria itu.
"Buku apa yang kau pinjam kali ini?" Tanyanya."Hmmm..ini kumpulan puisi Li Qingzhao, dia adalah seorang penyair wanita Dinasti Song." Ucap Sudewi.
"Mau membacakannya lagi untukku?" Tanya Hayam Wuruk.
"Satu-satunya orang yang pernah Anda bacakan sebuah buku yang Anda sukai adalah suami Anda, benar bukan?"
"Sudewi?"
"Suatu malam suami Anda datang pada Anda dan meminta Anda membacakan sebuah buku untuknya, dan tanpa berpikir panjang, Anda membacakannya."
"Sudewi?"
"Bukankah saat itu sebenarnya dia sedang meminta cinta pada Anda?"
"Sudewi?"
"Dan Anda memberikannya."
"Sudewi kau kenapa?"
Senyum perlahan tampak mengembang di bibir indah Sudewi. Semua perkataan Zuànshí yang berkelebat di dalam pikirannya sepertinya memang benar adanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hayam Wuruk & Sri Sudewi
Ficção Histórica"Tak perlu menuliskan seberapa besar rasa cinta di antara kita di atas selembar kertas." "Jika seseorang mengingatku ketika mendengar namamu disebut, maka ia telah mengerti betapa besarnya rasa cinta itu ." "Meskipun seseorang hanya akan mengenal na...