Perlahan Hayam Wuruk melangkahkan kakinya kembali melewati rerimbunan pohon. Semburat fajar mulai nampak di langit yang masih cukup gelap. Menandakan bahwa matahari telah bersiap untuk terbit disisi timur bukit.
Suara ringkikan kuda yang ditinggalkannya langsung terdengar menyambut begitu melihat Hayam Wuruk yang akhirnya berhasil keluar dari rerimbunan itu. Membuat senyum tipis mau tak mau muncul di wajah kuyu sang Raja Majapahit itu.
"Ma'af kawan..." Ucap Hayam Wuruk yang datang mendekat.
"Ma'af telah meninggalkan mu semalaman sendiri disini." Tambahnya lagi sembari melepas ikatan kudanya itu dan lantas menggiringnya perlahan menjauhi rerimbunan.Tanpa menunda lagi, ia pun memilih untuk segera menaiki kudanya itu. Namun sebelum benar-benar pergi, sekali lagi Hayam Wuruk memandangi ujung bukit yang semalaman menemaninya terjaga. Menemaninya terlarut dalam rasa rindu yang pedih. Menemaninya dalam kebingungan yang belum juga mau menghilang. Mungkinkah akan ada kesempatan lagi bagi dirinya untuk datang kembali ke bukit ini suatu saat nanti? Jika iya, maka Hayam Wuruk berharap tak kan ada lagi pedih atau kesedihan yang akan dibawanya nanti. Ia berharap akan datang lagi dalam keadaan yang lebih bahagia.
Sekali lagi Hayam Wuruk tersenyum tipis, cukup sudah baginya untuk mamandangi ujung bukit itu. Kini, meski hatinya masih terasa begitu hampa, tak ada yang bisa dipilihnya selain pulang kembali ke istananya. Perlahan diusapnya surai kuda yang ditungganginya itu.
"Ayo sekarang kita pulang." Ajak Hayam Wuruk. Segera dihentaknya kuda itu perlahan yang membuatnya lantas berjalan dengan tenang.Hayam Wuruk memang tak ingin pergi terburu-buru kali ini. Biarlah ia sedikit berlama-lama merasakan udara pagi. Biarlah rasa penatnya sedikit terlepas bersama angin dingin yang berhembus perlahan. Di atasnya, kini langit telah mulai nampak membiru. Suara kicauan burung mulai terdengar bersahut-sahutan di kejauhan, mengiringi suara gemeletak kaki kuda yang nyaring di tengah jalanan yang sunyi.
Pikirannya yang terlalu payah, membuat Hayam Wuruk tak terlalu berkonsentrasi pada apa-apa saja yang sedang dilewatinya. Bahkan ia pun tak sadar jika jalanan yang ia lalui telah mulai melandai, pertanda bahwa ia telah benar-benar meninggalkan area perbukitan itu.
Akan tetapi, saat Hayam Wuruk hampir melewati sebuah persimpangan, tiba-tiba ada sesuatu yang seketika menarik perhatiannya. Sesuatu yang tak diduganya ada di tempat yang cukup sunyi seperti ini.
Pura?
Hayam Wuruk sontak menghentikan laju kudanya. Matanya begitu seksama memperhatikan Pura berpagar baru bata merah yang tampak begitu asing itu. Ia tak ingat apakah benar-benar melewati Pura itu semalam, tapi ia yakin ia tak sedang salah jalan saat ini. Jalan ini adalah jalan yang sama yang dilewatinya kemarin. Mungkin keadaan yang temaram dan pikirannya yang kacau membuat Hayam Wuruk tak menyadari keberadaan Pura itu sebelumnya.
Berdo'alah sejenak.....
Tiba-tiba terdengar suara perintah dari dalam kepalanya. Hayam Wuruk pun mengangguk kecil pada suara perintah itu. Tanpa sedikitpun ragu, ia kemudian turun dari kudanya dan mengikatkanya di pohon terdekat.
Dengan pandangan yang masih begitu terpaku, Hayam Wuruk lantas berjalan melewati gerbang pagar Pura itu dan masuklah ia ke dalam pelatarannya yang cukup luas.
Perhatiannya lantas sedikit teralihkan saat melihat ada seorang remaja lelaki yang sedang menyapu disisi kiri pelataran itu. Tampak sama sekali tak menyadari keberadaan Hayam Wuruk, remaja lelaki itu tetap menunduk sembari berkonsentrasi pada helai-helai dedaunan yang sedang disapunya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hayam Wuruk & Sri Sudewi
Historical Fiction"Tak perlu menuliskan seberapa besar rasa cinta di antara kita di atas selembar kertas." "Jika seseorang mengingatku ketika mendengar namamu disebut, maka ia telah mengerti betapa besarnya rasa cinta itu ." "Meskipun seseorang hanya akan mengenal na...