Bab 101

177 20 10
                                    

Sembari menahan rasa penasarannya, Hayam Wuruk tampak berpaling kesana-kemari, memperhatikan jalan setapak belakang keraton Daha yang dirinya dan Sudewi lalui. Tak ada siapapun yang berlalu di jalan setapak itu kecuali mereka berdua. Sampai akhirnya tampaklah sebuah pertigaan yang lantas mengantarkan mereka menuju ke jalan yang lebih besar. Dan baru disitulah hiruk pikuk terlihat. Ada orang berpedati, berkereta, berkuda serta tak sedikit pula yang sekedar berjalan kaki juga. Terlihat begitu sibuk berlalu lalang kesana kemari.

Sekali lagi dengan begitu cermat, mata Hayam Wuruk tampak memandangi keramaian itu. Telah jauh sudah mereka berjalan, sampai pada akhirnya Hayam Wuruk pun tersadar bahwa ada sebuah pasar yang sebentar lagi akan mereka masuki. Dan disitulah ternyata semua keramaian orang berlalu lalang itu kemudian bermuara. Awalnya Hayam Wuruk mengira mungkin pasar ini lah yang menjadi tempat tujuan mereka, tapi ternyata tidak. Dengan begitu saja Sudewi menuntunnya untuk melewati keriuhan itu.

Jalanan pun menjadi sepi kembali ketika mereka mulai memasuki area persawahan. Tanpa sadar senyum pun muncul di wajah Hayam Wuruk begitu melihat apa yang tersaji di kanan dan kirinya kini. Hijaunya tumbuhan dan perbukitan atau birunya langit dan pegunungan di kejauhan, terasa benar-benar memanjakan mata. Oh dan ya terlebih lagi.....

Sudewi.....

Diam-diam Hayam Wuruk melirik kekasihnya itu. Baginya tak ada yang lebih indah melebihi dari seseorang yang sedang berjalan disampingnya itu. Mungkin akan terdengar berlebihan memang, tapi sungguh begitulah adanya. Lalu bagaimana bisa Hayam Wuruk sempat berpikir untuk melepasnya pergi? Raja Majapahit itu lantas menggeleng pelan, benar-benar tak habis pikir mengingat kebodohannya sendiri kala itu. Kini matanya pun kembali memandangi Sang Permaisuri. Dipandanginya lamat-lamat, sampai pedihnya mata yang lupa berkedip pun menjadi tak terasa.

Oh Dewa tolonglah aku....
Buatlah hambaMu yang indah itu mau menerimaku kembali....
Sungguh aku tak bisa jika tak bersamanya...

Mata Hayam Wuruk pun semakin lembut memandang, benar-benar tak mampu lagi untuk sekedar berpaling. Serasa tertawan sudah, bahkan sampai ke dalam-dalam tulangnya sekalipun.

Namun tiba-tiba, Hayam Wuruk harus rela kesenangannya itu terhenti saat Sudewi akhirnya memalingkan wajah. Ia menyadari, tampaknya ada sesuatu yang seketika menarik perhatian kekasihnya itu. Lantas diturutnya kemana arah mata indah itu kini memandang. Dan ia pun tersenyum saat mendapati seorang kakek tua lah yang sedang dipandangi oleh Permaisurinya itu.

Tampaknya kakek tua yang sedang terduduk di bawah pohon tepat di pinggiran sawah itu baru saja merehatkan dirinya dari kegiatan bertani. Dengan begitu lelah, terlihat mengipas-ngipaskan sebuah topi caping ke badannya. Perlahan Hayam Wuruk pun mengikuti saat Sudewi mulai berjalan mendekati kakek itu.

"Selamat siang Kakek."

Sapaan Sudewi seketika membuat gerakan mengipas-ngipas sang kakek terhenti. Sembari memicingkan matanya, kakek tua itu terlihat berusaha mengenali siapa orang yang baru saja menyapanya itu.

"Kakek sedang beristirahat?" Tanya Sudewi.

"Yaaa aku memang sedang beristirahat." Jawab kakek itu. Tatapan matanya terlihat semakin bingung, tampaknya ia belum berhasil sama sekali mengenali dua orang yang sedang mendatanginya itu .

"Apa Kakek sudah makan?" Tanya Sudewi lagi.

"Aku sedang menunggu istriku mengirim makanan untukku." Ucap kakek itu.
"Mungkin dia belum selesai memasak atau apa, jadi sedari tadi dia belum terlihat datang."

Sudewi pun tersenyum mendengar perkataan kakek itu. Lantas diambilnya satu bungkusan daun pisang dari keranjang besar yang dibawa Hayam Wuruk.
"Kalau begitu makanlah ini dulu Kek." Pinta Sudewi sembari menyodorkan bungkusan itu.

"Ehhh hmmm..." Dengan begitu kaget kakek itu memandangi bungkusan yang sedang disodorkan padanya itu.
"Tapi kalian ini siapa?" Tanya kakek itu kemudian, tatapannya kini beralih kembali pada Hayam Wuruk dan Sudewi. Tampak matanya berganti-gantian memandangi dua orang yang kini mengambil duduk tepat dihadapannya itu.

"Kami berjualan makanan di pasar Kek." Jawab Sudewi seadanya.
"Kebetulan kami sedang akan menuju ke perbukitan itu." Sudewi lantas menunjuk perbukitan hijau yang terletak tak jauh dari mereka.

"Ohhh..." Kakek itu tampak mengangguk-anggukan kepalanya. Akhirnya, meski masih terlihat ragu, diambilnya juga bungkusan itu. Lantas Ia pun tersenyum saat mulai membukanya. Dan seakan semua rasa ragunya telah lenyap, dengan begitu lahap langsung disantapnya apa-apa saja yang tersaji di dalam lembaran daun pisang itu.
"Wah ini enak sekali." Ucap kakek itu. Kini habis sudah makanan yang diterimanya dari Sudewi. Bersih tak bersisa, hanya tertinggal bungkus daun pisangnya saja yang terlihat mengkilap diterpa cahaya matahari.
"Jualanmu pasti laris manis kalau ternyata masakanmu seenak ini."

Senyum Sudewi pun tampak semakin lebar melihat betapa puasnya kakek itu.
"Apa Kakek mau lagi?"

"Ehhhh apakah boleh?" Tanya kakek itu dengan wajahnya yang teramat senang.

"Tentu saja..." Ucap Sudewi sembari mengambil satu bungkusan lagi.

Tak seperti sebelumnya, kali ini dengan tanpa ragu sedikitpun, kakek itu langsung meraih bungkusan ya disodorkan Permaisuri Majapahit itu.
"Wah katakan padaku apa yang bisa aku lakukan untuk membalas kebaikan kalian?" Tanya kakek itu.

"Tak perlu Kek." Ucap Sudewi.

"Do'akan aku saja kalau begitu Kek." Hayam Wuruk yang sedari tadi mengamati dalam diam terdengar tiba-tiba menyela.

"Do'akan?" Ulang kakek itu.
"Do'akan apa anak muda?"

"Do'akan semoga istriku mau mema'afkanku hari ini." Jawab Hayam Wuruk sembari memandang lembut pada Permaisurinya itu.
"Dia sedang marah padaku Kek."

Kakek itu pun lantas ikut memandangi Sudewi yang kini terlihat begitu salah tingkah.
"Ehhh dia sudah tak marah lagi padamu." Ucap kakek itu kemudian, terdengar nada bicaranya yang begitu yakin.

"Benarkah?" Seketika Hayam Wuruk menegakkan duduknya.

"Coba saja tatap matanya." Ucap kakek itu.
"Matanya sama sekali tak mengatakan bahwa dia sedang marah."

Dengan tersenyum Hayam Wuruk pun mencoba untuk menatap mata Sang Permaisuri yang serta-merta terlihat berusaha menghindari tatapan itu.
"Tapi....dia sama sekali belum mau tersenyum lagi padaku kek, padahal aku saaaangat merindukan senyumannya."

"Meluculah..." Saran kakek itu.
"Buatlah lelucon, buatlah istrimu itu tertawa."

"Menurut Kakek seperti itu?" Tanya Hayam Wuruk.
"Tapi aku tak pandai melucu Kek."

"Heeeee kau ini bagaimana." Ucap kakek itu sembari menepuk pundak Hayam Wuruk.
"Wanita itu suka pria yang pandai melucu."

"Begitukah?" Mata Hayam Wuruk tampak membulat jenaka.
"Kalau menari saja bagaimana Kek? Aku pandai menari. Aku ini ahlinya."

"Tak ada salahnya." Ucap kakek itu sembari tertawa.
"Cobalah!!!"

"Ma'af Kek aku harus pergi." Tiba-tiba saja Sudewi terlihat bangkit berdiri, lalu dengan begitu terburu-buru berjalan meninggalkan kakek itu dan Hayam Wuruk yang baru saja akan mulai beraksi.

"Oh ma'af kek..." Hayam Wuruk lantas ikut bangkit berdiri dan dengan begitu kalang kabut meraih keranjang makanan disampingnya.
"Aku juga harus pergi!!!"

"Ya ya ya pergilah, pergilah! Susulah istrimu itu." Ucap kakek itu, tawanya terdengar semakin riang.
"Rayu sampai dapat!!!"

Hayam Wuruk sontak tersenyum, dilambaikan tangannya itu pada sang kakek, sebelum akhirnya dengan terburu-buru segera berlalu menyusul Sang Permaisuri yang sudah berjalan jauh didepan.

Hayam Wuruk & Sri SudewiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang