Bab 35

279 36 0
                                    

Hayam Wuruk bisa merasakan matanya yang begitu sembab ketika terbangun dari tidurnya pagi ini. Berapa lama dia tertidur? Dia merasa bahwa ini adalah tidurnya yang paling nyenyak setelah sekian lama merasakan kegelisahan. Entah karena dia terlalu lelah menangis semalam atau memang hatinya yang mulai merasakan ketenangan.

Dicobanya untuk bangkit dari tidurnya. Dilihatnya sinar matahari yang begitu lembut masuk melalui kamar jendelanya yang terbuka. Sinar itu dengan indah menerpa lemari, meja, kursi dan juga....

Sudewi....

Hatinya begitu terhenyak ketika melihat wanita itu sedang tertidur sembari terduduk di kursi.

Dia sama sekali tak meninggalkan ku...

Dengan tanpa mengalihkan pandangannya sedikitpun, Hayam Wuruk tampak berjalan mendekati Sudewi. Perlahan dia mengambil duduk tepat disamping istrinya itu. Dipandanginya lekat-lekat Sudewi yang nampak begitu terlelap meski sinar matahari menerpa sebagian besar wajahnya.

Masih diingatnya bagaimana usapan-usapan lembut Sudewi yang berusaha menenangkannya semalam. Bagaimana bisa wanita itu sama sekali tak menyerah pada penolakan-penolakan Hayam Wuruk? Bagaimana bisa wanita itu mau dan mampu menghadapi setiap kemarahan, setiap sikap dingin ataupun sikap kasar Hayam Wuruk padanya?

"Ma'afkan aku Sudewi..." Bisik Hayam Wuruk lirih.

Diangkatnya sebelah tangannya untuk menghalangi sinar matahari yang tepat mengenai mata Sudewi, berharap mata yang masih terpejam itu terhindar dari silaunya. Entah berapa lama Hayam Wuruk melakukan itu, dia baru menurunkan tangannya ketika dilihatnya tubuh Sudewi yang mulai bergerak. Mata wanita itu perlahan-lahan terbuka. Seakan masih berusaha mengumpulkan kesadarannya, sepasang mata indah itu tampak mengerjap-ngerjap berulang kali, sampai pada akhirnya sang pemilik mata menyadari keberadaan seseorang di sampingnya.

"Kanda...." Ucap Sudewi lirih, senyum indah tampak mengembang perlahan di bibirnya.

"Kenapa kau tidur disini?" Tanya Hayam Wuruk.

"Kanda sudah lama terbangun?"

"Sudewi....."

Keduanya tampak saling menatap, sebelum akhirnya Hayam Wuruk memilih untuk menundukkan pandangannya.

"Kau pasti menganggapku sangat lemah Sudewi...." Ucap Hayam Wuruk akhirnya.
"Karena menangis seperti itu semalam."

Sejenak Sudewi menarik nafas panjang.
"Tangis dan lemah adalah dua hal yang tidak saling terkait, mereka tidaklah berjalan beriringan Kanda." Sudewi tampak menatap mata pria yang sedang terdiam itu.

"Kanda...." Panggil Sudewi lembut, ketika tak ada respon sama sekali dari suaminya itu.
"Kau masih menganggapku sebagai saudarimu bukan?"

Perlahan pandangan Hayam Wuruk tampak teralihkan kembali pada Sudewi.

"Sekarang anggaplah aku sebagai sahabatmu juga. Maka selayaknya sahabat berbagilah segalanya denganku Kanda." Pinta Sudewi.
"Termasuk semua kesedihan dan kegelisahan mu."

Hayam Wuruk tampak menghela nafas panjang, matanya kini jauh menerawang pada langit biru di luar jendelanya.

"Tentang apa yang telah terjadi di hutan, prajurit Sunda Galuh itu mungkin telah mengingatkanmu pada perang di Bubat dan..." Sudewi tampak ragu untuk menyebutkan nama Putri Dyah Pitaloka.

"Dan..itu pasti membuatmu sangat gelisah bukan?" Lanjut Sudewi kemudian.
"Jangan menyimpannya sendiri Kanda, berceritalah padaku." Pinta Sudewi sekali lagi.

"Kau hampir saja mati di hutan waktu itu Sudewi." Ucap Hayam Wuruk lirih.

Sudewi nampak tersenyum ketika mendengar kata-kata suaminya itu.
"Kita adalah sesuatu yang hidup Kanda, maka setiap waktu kita bersinggungan dengan kematian." Ucapnya.

"Kau tak takut?" Tanya Hayam Wuruk terheran.

"Kanda sedang mengujiku?" Tanya Sudewi, senyumnya tampak semakin lebar.
"Aku adalah manusia biasa Kanda. Tak dapat ku pungkiri bahwa aku merasa sangat takut ketika anak-anak panah itu melesat melewatiku, tapi aku sadar apa yang aku alami tidaklah seberapa. Dan ada satu hal yang tak boleh aku lupakan, bahwa aku adalah seorang Permaisuri Majapahit, bukankah itu artinya aku harus siap dengan apapun yang akan terjadi. Tak seharusnya ada yang bisa membuatku takut."

"Jadi kau tak takut jika harus berada disampingku?"

Dengan cepat Sudewi menggeleng.
"Tidak sama sekali Kanda..."

"Sudewi, aku tak melindungimu dengan baik di hutan saat itu..."

"Kenapa Kanda berpikir seperti itu? Jika kau tak melindungiku dengan baik saat itu, aku tidak akan ada disini sekarang."

Hayam Wuruk bisa melihat betapa tulusnya mata wanita itu ketika menatapnya. Perlahan diraihnya tangan istrinya itu. Diusapnya telapak tangan Sudewi yang terluka karena kejadian di hutan kala itu. Meski masih jelas terlihat, namun luka itu telah mengering.

"Apakah masih terasa sakit?" Tanya Hayam Wuruk.

"Tidak sama sekali." Ucap Sudewi.
"Meski lukanya masih terlihat, tapi rasa sakitnya telah menghilang." Lanjutnya sembari tersenyum.

Hayam Wuruk tampak menatap begitu lembut pada wanita yang ada disampingnya itu.

"Ma'afkan atas segala sikapku Sudewi." Pintanya.

"Tentu saja aku mema'afkanmu Kanda." Ucap Sudewi.
"Apakah sekarang Kanda merasa lebih baik?" Tanyanya kemudian.

"Lebih dari sekedar baik." Ucap Hayam Wuruk.

"Kini bangkitlah kembali Kanda...demi Majapahit, kami semua membutuhkan mu."

Perlahan Hayam Wuruk mengangguk. Seutas senyum yang sempat menghilang, kini telah nampak kembali di bibirnya.

"Sudewi...."

"Ya...."

"Berdoalah bersamaku."

Dengan begitu bahagia Sudewi mengangguk, tak ada alasan baginya untuk menolak sesuatu yang bisa membuat Hayam Wuruk dan dirinya merasa lebih tenang. Setelah membersihkan diri, keduanya kemudian berjalan keluar kamar menuju Pura.

Sudewi bisa melihat wajah Hayam Wuruk yang telah terlihat berbeda dari hari-hari sebelumnya. Dia mengerti, apa yang terjadi saat ini tidak serta merta membuat Hayam Wuruk terbebas dari kenangan masa lalunya. Namun paling tidak Sudewi ingin suaminya itu mengerti bahwa dia tidak sendiri, akan selalu ada seseorang yang akan berada disampingnya apapun yang akan terjadi.

Hayam Wuruk & Sri SudewiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang