Bab 108

141 12 11
                                    

"Terimakasih Permaisuri..." Ibu Dyah Wiyat tampak tersenyum begitu lebar saat Sudewi menyodorkan sepiring makanan padanya.

"Tidakkah seharusnya kau mendahulukan suamimu?" Raden Kudamerta yang sedari tadi memperhatikan tiba-tiba terdengar dingin menyela.
"Kau seharusnya lebih mengutamakannya, Permaisuri..."

Kata-kata itu sungguh terdengar lembut mengalun, namun sanggup merubah suasana makan pagi mereka yang sejatinya hangat menjadi buyar seketika.

Begitupun Hayam Wuruk yang langsung menghela nafas jengah. Ia tak paham kenapa lagi-lagi ayah mertuanya itu harus mengucapkan kalimat yang sungguh tak perlu. Lantas perlahan diliriknya Sudewi yang terduduk diam di sampingnya. Nyaris tak ada setitik pun reaksi yang sedang ditunjukkan oleh Permaisurinya itu, seakan sudah terlalu lelah baginya untuk menanggapi ucapan sang ayahanda.

Dengan begitu dalam, Hayam Wuruk terlihat kembali menghela nafas.
"Permaisuri selalu lah mengutamakanku, Paman." Terdengar Hayam Wuruk yang memulai perlawanan.
"Tapi karena pagi ini, di hadapannya sedang terduduk ayah dan ibunya, maka suatu hal yang wajar jika Permaisuri ingin lebih mengutamakan mereka." Bibir Raja Majapahit itu tampak tersenyum di tengah nada suaranya yang terdengar berat.
"Dan dengan begitu senang hati tentu saja aku akan mengizinkannya."

Senyum sontak terlihat di wajah Ibu Dyah Wiyat. Ada ekspresi teramat lega di wajah Sang Brhe Daha begitu mendengar ucapan kemenakan sekaligus anak menantunya itu. Berbanding terbalik dengan raut gerah yang justru sedang diperlihatkan oleh suaminya.

"Atas izinku, istriku akan kembali menjadi seorang anak perempuan dihadapan ibunya." Tambah Hayam Wuruk lagi dengan nada suara yang meringan.
"Apakah Bibi menginginkannya juga?" Hayam Wuruk lantas mengalihkan pandangannya pada ibu mertuanya itu.

"Tentu saja Prabuuu...." Terdengar Ibu Dyah Wiyat yang langsung menjawab dengan begitu berseri.

Hayam Wuruk pun kembali tersenyum. Lantas, Raja Majapahit itu terlihat meraih satu piring kuningan yang ada dihadapannya dan dengan begitu erat digenggamnya piring kuningan itu dengan kedua tangan.
"Dan aku akan sabar untuk menunggu giliranku." Ucapnya kemudian sembari memalingkan matanya pada Sang Permaisuri.

Sementara itu, Sudewi yang merasa tak nyaman dengan tatapan itu pun terlihat melirikan matanya perlahan, membuat Hayam Wuruk sontak tersenyum sumringah.

"Apa ini sudah giliran ku?" Tanya Hayam Wuruk dengan nada jenaka sembari menyodorkan piring kuningannya pada Sang Permaisuri.

Seketika terdengar Ibu Dyah Wiyat yang tertawa, terlihat begitu bahagia melihat tingkah laku putra-putrinya itu. Dan seakan tak ingin merusak tawa ibunya, Sudewi pun tampak buru-buru meraih piring kuningan itu dan segera mengisinya tanpa basa-basi.

"Tambahkan lagi nasinya untukku, Sudewi." Pinta Hayam Wuruk lembut.
"Aku harus makan banyak hari ini."

Sekali lagi tanpa berkata, Sudewi lantas menuruti apa yang dipinta oleh suaminya itu. Ditambahkannya satu centong penuh nasi ke atas piring itu, bahkan ia pun menambahkan lagi lauk-pauknya, membuat piring kuningan itu terlihat penuh sesak sekarang. Sampai-sampai Hayam Wuruk kesulitan untuk memegangnya saat Sudewi kembali menyodorkan piring itu padanya.

"Kau pun juga." Ucap Hayam Wuruk tiba-tiba saat melihat Sudewi yang mulai mengisi piring untuk dirinya sendiri.
"Kau pun juga harus makan banyak Sudewi, karena kita akan berpergian lagi hari ini."

Gerakan tangan Sudewi sontak terhenti. Kini ada tatapan penuh tanya yang lantas diperlihatkan oleh mata Sang Permaisuri Majapahit itu saat mendengar ucapan suaminya.

"Kalian akan pergi berjalan-jalan lagi?" Tanya Ibu Dyah Wiyat.

Hayam Wuruk tampak mengangguk pelan.
"Aku ingin mengajak Permaisuri pergi ke suatu tempat hari ini, Bi.."

Hayam Wuruk & Sri SudewiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang