"Secinta apakah kau kini pada Permaisuri?"
Suara tanya Hayam Wuruk terdengar menggema. Disekitar mereka jalanan telah tampak meramai seiring langkah mereka yang mulai memasuki pasar.
"Ma'afkan aku Tuan Arnawama, aku tak sengaja membaca suratmu untuk Permaisuri." Tambah Hayam Wuruk lagi.
Meski terdiam, namun tak ada keterkejutan di wajah Arnawama. Hanya ada sebuah tatapan dalam yang sedang diperlihatkan oleh mata pria itu.
"Apakah Anda mengkhawatirkan tentang surat itu, Prabu?" Tanyanya kemudian.Perlahan Hayam Wuruk menunduk, memandang jalanan pasar yang tak rata di bawahnya.
"Aku telah melakukan suatu kesalahan fatal karenanya, Tuan Arnawama." Jawabnya penuh sesal.
"Sangat fatal, itu lah sebabnya Permaisuri begitu marah padaku."Ada senyum tipis yang kemudian muncul di wajah Arnawama.
"Anda tak perlu mengkhawatirkan surat itu, Prabu." Ucapnya.
"Sama sekali tak perlu. Surat itu bukanlah surat cinta, melainkan surat perpisahan. Saya hanya ingin menulis apa yang bisa membuat hati saya melega."Begitu terhenyaknya Hayam Wuruk mendengar apa yang baru saja diucapkan oleh putra Guru Byakta itu.
Surat.... perpisahan....
"Dan sedikitpun Anda tak perlu meragukan Permaisuri..." Arnawama kembali meyakinkan.
"Satu coretan tinta pun ia tak pernah membalas surat itu."Dengan lembut, Hayam Wuruk lantas berpaling memandang Sudewi yang masih saja memilih untuk berjalan cepat di depan. Bahkan keramaian pasar pun tak dapat menghalau rasa sesal yang begitu dalam di relung hatinya saat meratapi Permaisurinya itu.
"Dan...masihkah kau mencintainya, Tuan Arnawama?" Hayam Wuruk terdengar kembali bertanya."Jika saya berkata yang sebenarnya, apakah Anda akan mampu untuk menerimanya?" Tanya Arnawama.
Hayam Wuruk tampak memandang lekat-lekat raut yang tergambar di wajah Arnawama. Raut yang seolah sedang mengundangnya untuk berucap 'ya'.
"Katakanlah Tuan Arnawama." Pinta Hayam Wuruk akhirnya.
"Katakanlah apa yang perlu kau katakan padaku."Sekali lagi muncul senyum tipis yang terlihat begitu lembut di wajah Arnawama.
"Sejujurnya....ketika sedang melihat langit atau membaca sebuah bait puisi, tanpa disadari seringnya saya masih memikirkan tentangnya." Ucap Arnawama mengawali pengakuannya.
"Saya bisa merasakan kehangatan dan sesak diwaktu yang sama."Parau, meski bibir Arnawama sedang tersenyum, namun Hayam Wuruk bisa mendengar dengan jelas keparauan dalam suara pria itu saat mulai berkata-kata.
"Saya telah berjanji pada Permaisuri bahwa saya akan menyebut namanya dalam do'a hanya jika saya mengingatnya, padahal kenyataannya tanpa perlu diingat pun, secara langsung nama Permaisuri akan selalu tersebut setiap kali saya menghadap Dewa."
Kata-kata yang diucapkan Arnawama terdengar begitu menggantung di udara. Serasa menaungi keheningan diantara dirinya dan Hayam Wuruk yang masih saja terdiam.
"Tapi saya bersumpah." Arnawama terdengar kembali berucap.
"Sedikitpun saya tak mendo'akan apapun kecuali kebahagian untuknya. Dimana pun, kapanpun dan seperti apapun, bersama Anda, saya berharap bahwa Permaisuri akan selalu berbahagia."Arnawama...
Hanya dari tatapan mata saja, Hayam Wuruk tahu apa yang dikatakan pria itu adalah sesuatu yang apa adanya.
"Apa kau ingin melupakannya, Tuan Arnawama?" Tanya Hayam Wuruk kemudian.
"Apakah itu sebabnya kau memilih untuk pergi jauh ke India? Agar kau bisa melupakan Permaisuri..."Sembari kembali tersenyum, Arnawama terlihat memejamkan mata.
"Jika ingin melupakannya maka saya tak perlu jauh-jauh pergi ke India, Prabu." Jawab Arnawama perlahan.
"Tapi sayangnya yang saya inginkan bukanlah melupakannya, sedikitpun saya tak ingin melupakan seseorang seperti Permaisuri."
KAMU SEDANG MEMBACA
Hayam Wuruk & Sri Sudewi
Ficção Histórica"Tak perlu menuliskan seberapa besar rasa cinta di antara kita di atas selembar kertas." "Jika seseorang mengingatku ketika mendengar namamu disebut, maka ia telah mengerti betapa besarnya rasa cinta itu ." "Meskipun seseorang hanya akan mengenal na...