Matahari terlihat telah memerah saat rombongan Raja tersebut tiba di kawasan Rabut Palah. Segenap rakyat tampak begitu suka cita menyambut penuh rindu sang Raja yang memang telah lama tak datang berkunjung.
Keesokan harinya, di pagi yang terasa begitu cerah, dilaksanakan lah pemujaan pada Sang Dewa Gunung, Hyang Acalapati di Rabut Palah. Pemujaan demi pemujaan dilaksanakan dengan begitu khidmat, memohonkan keselamatan bagi semua dari murkanya sang Gunung Kelud.
Setelah melakukan pemujaan, tampak semua orang dalam rombongan itu telah bersiap untuk meneruskan lawatan ke daerah selanjutnya yaitu Balitar.
Sama seperti sebelumnya, di Balitar pun mereka disambut dengan begitu semarak. Berita akan kedatangan Raja ke daerah itu sudah tersiar sebelumnya. Membuat para penduduk bersiap dengan segala macam penyambutannya.
Di rumah seorang kepala desa diadakan sebuah perjamuan besar. Suara musik terdengar penggah mengiringi para penari, menghibur hati semua yang hadir. Orang-orang saling melemparkan canda gurau satu sama lain terasa begitu akrab, membuat suasana semakin ramai.
Terlihatlah Hayam Wuruk yang sedang sibuk mengobrol dengan beberapa pejabat desa, menanyakan tentang perkembangan apa saja yang terjadi di desa tersebut.
Waktu telah menunjukkan bahwa malam telah tiba dan semakin larut, tapi suasana masih tetap saja hingar bingar. Dari tempatnya, Hayam Wuruk dapat melihat Sudewi terduduk bersama para wanita yang juga sedang mengajaknya bercengkrama dengan begitu senang. Istrinya itu masih tetap saja bisa tersenyum ramah pada mereka semua meski wajahnya menunjukkan kelelahan yang teramat sangat.
Ingin sekali dia menghampiri Permaisurinya itu, untuk sekedar memintanya segera beristirahat saja. Dia sudah akan berdiri ketika tiba-tiba seorang penari datang menghampirinya.
"Menarilah bersama kami Prabu." Pinta penari itu.
Hayam Wuruk tampak terkaget saat melihat sang penari yang datang mendekat itu.
"Jika aku sedang tak lelah mungkin aku sudah akan ikut menari." Ucap Hayam Wuruk sembari tersenyum pada penari itu.
"Menarilah lagi, aku akan melihatnya dari sini." Pintanya kemudian.Penari itu lantas menunduk hormat, menghaturkan sembahnya pada sang Raja, sebelum akhirnya berlalu pergi. Terlihat beberapa orang mulai ikut menari membuat suasana semakin meriah.
Hayam Wuruk tampak menarik nafas panjang dan kembali terduduk, dia hanya bisa terdiam di tengah-tengah keramaian itu. Sebenarnya setelah melakukan pemujaan, dia berharap bisa banyak menghabiskan waktu bersama Sudewi dalam perjalanannya kali ini. Namun dia tahu posisinya sebagai seorang raja yang hadir ditengah-tengah rakyatnya hampir tak akan mungkin memberinya kesempatan untuk itu. Bahkan hanya untuk sekedar mengobrol sebentar dengan Sudewi saja dia tak bisa. Hal ini membuat Hayam Wuruk merasa begitu bersalah pada istrinya itu.
Perhatiannya tampak teralihkan lagi pada Sudewi. Lama Hayam Wuruk memandang pada istrinya itu, ketika tiba-tiba saja mata wanita itu juga mengarah padanya, membuat mata mereka bertemu. Perlahan keduanya pun tersenyum.
"Beristirahatlah..." Ucap Hayam Wuruk tanpa suara pada Sudewi. Berharap istrinya itu bisa membaca gerak bibirnya.
Dan sepertinya Sudewi paham dengan apa yang dimintakan Hayam Wuruk padanya. Permaisurinya itu tampak menganggukkan kepalanya perlahan untuk menjawab.
Hayam Wuruk bisa melihat Sudewi berbisik kepada dua dayangnya yang lantas segera bangkit berdiri untuk bersiap mengantarkan sang Permaisuri menuju kamar yang telah disediakan untuknya.
Dengan senyum ramahnya itu, Sudewi pun berpamitan pada semua orang yang berada didekatnya. Semuanya tampak menunduk hormat saat sang Permaisuri Majapahit itu perlahan mulai bangkit dari duduknya.
Hanya sebuah anggukan kecil yang bisa diberikan Hayam Wuruk saat melihat Permaisuri nya itu juga tersenyum padanya sebelum akhirnya pergi meninggalkan ruangan yang masih begitu riuh ramai itu.
Malam telah melewati setengah perjalanannya saat kemeriahan itu berakhir. Dengan hati yang terpuaskan oleh berbagai macam jamuan dan keramaian, semua orang tampak bersiap untuk mengistirahatkan tubuhnya di peraduan masing-masing.
"Kamar Anda telah kami persiapkan Prabu, silahkan jika Anda ingin langsung beristirahat." Ucap sang kepala desa yang menjamu mereka saat melihat Hayam Wuruk bangkit dari duduknya.
"Dimana kalian memberi kamar untuk Permaisuri?" Tanya Hayam Wuruk kemudian pada kepala desa itu.
"Apakah Anda ingin beristirahat bersama Permaisuri, Prabu?" Tanya seorang wanita paruh baya yang sepertinya adalah istri sang kepala desa.
"Hmmm tidak, aku hanya ingin menemui Permaisuri sebentar." Ucap Hayam Wuruk sembari tersenyum.
"Mari Prabu, saya akan mengantarkan Anda..." Ucap istri sang kepala desa itu sembari mempersilahkan Hayam Wuruk untuk mengikutinya.
Keduanya tampak menyusuri lorong-lorong kediaman sang kepala desa dan akhirnya tiba pada sebuah taman kecil di tengah-tengah kediaman tersebut.
"Disitulah kamar Permaisuri Prabu." Ucap istri kepala desa itu sembari menunjuk salah satu kamar yang berada tepat disamping taman itu.
"Terimakasih..."
Dengan begitu santun wanita itupun menundukkan kepalanya sebelum akhirnya pergi berlalu meninggalkan Hayam Wuruk.
Terlihat dua orang prajurit yang berjaga di depan pintu kamar itu. Keduanya tampak menunduk hormat saat melihat kedatangan Raja mereka.
"Permaisuri ada di dalam?" Tanya Hayam Wuruk pada salah satu prajurit itu.
"Iya Prabu." Ucap prajurit itu.
Hayam Wuruk lantas berjalan mendekat dan perlahan membuka pintu kamar itu. Namun baru saja pintu itu terbuka sedikit, matanya sudah bisa menangkap keberadaan Permaisurinya yang sedang berbaring di atas tempat tidur, diapit oleh kedua dayangnya yang juga tampak sudah terlelap.
Dipandanginya tubuh itu. Nafasnya terlihat begitu tenang. Ingin rasanya Hayam Wuruk membangunkannya sesaat hanya untuk sekedar mengucapkan 'selamat tidur', 'bermimpilah indah' atau yang semacamnya. Tapi sepertinya dia harus menahan hatinya sendiri untuk tidak melakukan itu.
"Bermimpilah indah Sudewi...." Ucap Hayam Wuruk lirih, sebelum akhirnya memutuskan untuk menutup kembali pintu kamar itu rapat-rapat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hayam Wuruk & Sri Sudewi
Ficción histórica"Tak perlu menuliskan seberapa besar rasa cinta di antara kita di atas selembar kertas." "Jika seseorang mengingatku ketika mendengar namamu disebut, maka ia telah mengerti betapa besarnya rasa cinta itu ." "Meskipun seseorang hanya akan mengenal na...