Bab 1

965 60 0
                                    

1358 -Daha-

Hari sudah hampir senja, tapi tak menyurutkan langkah seorang gadis muda untuk tetap menapaki jalan-jalan yang sudah mulai menyepi di pasar. Dia yang sedari tadi berjalan sendiri setelah selesai belajar di kediaman seorang Gurudesa, nampak masih bersemangat untuk berkeliling.

Tidak banyak pedagang yang masih buka pada jam segini, hanya beberapa saja. Beberapa dari mereka juga sudah mulai membereskan barang dagangannya.

Tiba-tiba mata gadis itu tertuju pada sebuah lapak pedagang alat tulis. Sebenarnya lapak itu juga sudah mau tutup, karena sang pedagang itu nampak sedang beres-beres, tapi melihat kedatangan gadis itu, sang pedagang akhirnya berhenti dari kegiatannya untuk menyapa.
"Apakah ada sesuatu yang anda butuhkan?" Tanya pedagang itu.

" Hmm ya sepertinya aku membutuhkan..."

" Putri Sudewiiiii!!!" Tiba-tiba seseorang berteriak memanggil dari kejahuan sembari berlari tergopoh-gopoh, membuat kaget yang dipanggil, begitu juga pedagang yang ada di depannya.

"Astaga Hayi.... Ada apa? Kenapa kau berteriak sekencang itu?" Tanya gadis yang dipanggil Sudewi itu. Seorang gadis lain tiba dihadapannya dengan nafas tersengal-sengal.

"Disini Anda rupaya." Ucap dayang muda bernama Hayi itu.
"Raden Kudamerta meminta saya untuk memanggil Anda Putri. Anda harus segera pulang, kalau tidak mereka akan tahu kalau Anda belum tiba di keraton." Lanjutnya, terdengar kepanikan dalam nada suaranya.

"Apa?" Seketika wajah Sudewi menegang, mengetahui ayahnya, Raden Kudamerta sang Bhre Wengker sedang mencarinya.

"Ma'afkan aku paman, sepertinya aku tidak jadi beli." Kata Sudewi meminta ma'af pada pedagang didepannya yang tampak kaget setelah mengetahui siapa sebenarnya orang yang akan membeli dagangannya itu. Belum sempat si pedagang menjawab, Sudewi dan Hayi sudah terlebih dahulu berlari sekencang yang mereka bisa meninggalkan pasar.

"Ada apa Hayi? Kenapa Ayah tiba-tiba memanggilku?" Tanya Sudewi sambil tetap berlari.

"Saya tidak tahu Putri." Jawab Hayi yang nampak susah payah mengimbangi langkah lari tuannya itu.
"Tapi tadi tiba-tiba saja kita kedatangan rombongan dari Trowulan." Lanjutnya.

Langkah Sudewi tiba-tiba terhenti. Mendengar jawaban itu membuat Sudewi agak bingung.
"Kenapa tiba-tiba ada rombongan dari Trowulan? Apa ada sesuatu terjadi?" Tanya Sudewi.

"Saya benar-benar tidak tahu Putri tapi tadi saya lihat sekilas dalam rombongan itu ada Ibu Suri Dyah Gitarja dan Raden Cakradara." Jawab Hayi.

Entah kenapa hati Sudewi merasa tidak enak mendengar jawaban Hayi. Tidak biasanya apabila ada rombongan dari Trowulan datang ke Daha, tidak memberi kabar terlebih dahulu. Apalagi yang datang adalah ibu Suri Dyah Gitarja, seorang pembesar Majapahit sekaligus kakak ibunya.

"Putri tidakkah sebaiknya kita tetap berlari, kita harus segera sampai di keraton." Perkataan Hayi menyadarkan Sudewi dan membuatnya mulai berlari kembali.

Hatinya sedikit lega ketika gerbang belakang keraton Daha telah tampak di kejauhan, membuatnya berlari semakin kencang. Jangan sampai ayah dan ibunya tahu kalau dia belum ada di dalam keraton.

Seorang Prajurit yang menjaga gerbang itu terlihat panik, melihat Putri Keraton mereka yang sedang berlari.

"Hati-hati Putri." Kata prajurit itu, sebenarnya dia tidak heran melihat sang Putri yang sering pulang terlambat, tapi kali ini dalam keadaan lari terburu-buru seperti itu membuatnya jadi ikut panik.

" Terimakasih paman." Jawab Sudewi sambil terus berlari.

Setelah melewati gerbang, Sudewi dan Hayi langsung berbelok ke arah kiri, menuju ke taman belakang. Melewati beberapa taman, akhirnya mereka sampai di depan jendela besar sebuah kamar. Dengan panik, Sudewi membuka jendela itu dan segera melompat ke dalamnya. Setelah itu giliran Hayi yang melompat. Bertepatan dengan mendaratnya kaki Hayi di lantai, tiba-tiba pintu kamar itu terbuka.

"Sudewi, kenapa kau lama sekali nak?" Tanya seseorang yang baru saja membuka pintu kamar tersebut.

"Ma'af ibu, aku baru saja selesai mandi." Jawab Sudewi seadanya. Sebenarnya dia takut orang yang dipanggilnya ibu itu tidak percaya, karena dari suaranya saja sudah jelas terdengar kalau Sudewi baru saja habis berlari.

"Kau yakin baru saja selesai mandi? Kau tampak berantakan nak." Selidik ibunya, Dyah Wiyat sang Bhre Dhaha, heran melihat penampilan Sudewi yang memang tidak nampak seperti baru mandi.

Sudewi seketika menyisirkan jemari kerambutnya yang nampak kusut.

"Sudahlah tak apa nak, semua orang sudah menunggu mu dari tadi, tak sopan membiarkan semua menunggu terlalu lama, cepatlah temui mereka terlebih dahulu." Kata ibu Dyah Wiyat.

"Baik ibu." Ucap Sudewi sembari sedikit membenahi dirinya.
"Ibu... kenapa tiba-tiba Ibu Suri Dyah Gitarja dan Ayahanda Raden Cakradara datang kemari? Apakah terjadi sesuatu?" Tanya Sudewi sembari melangkahkan kakinya keluar kamar.

Ibu Dyah Wiyat nampak tersenyum.
"Temuilah mereka dulu nak. Mereka akan menjelaskan apa maksud kedatangan mereka padamu nanti." Ucapnya.

Sembari berjalan, Sudewi terus berpikir apa yang sebenarnya terjadi. Kenapa rombongan dari Trowulan itu harus menunggunya, seakan-akan memang Sudewi lah yang ingin mereka temui. Benar-benar tidak seperti biasanya. Biasanya apabila ibu Suri Dyah Gitarja datang berkunjung ke Daha adalah untuk melepas rindu pada adiknya yaitu ibu Dyah Wiyat. Meskipun Ibu Suri juga sering mengobrol dengannya juga, tapi tak pernah secara khusus menunggu Sudewi seperti ini. Apalagi dirasa-rasa rombongan itu datang tiba-tiba tanpa memberitahu jauh-jauh hari sebelumnya seperti biasa. Ingin sekali Sudewi bertanya kembali pada ibunya.

Tenanglah Sudewi....

Di dalam hati, Sudewi berusaha untuk menenangkan dirinya sendiri. Begitu kakinya melangkah masuk ke paseban keraton Daha, tampak lah olehnya seseorang yang tersenyum lebar begitu mengetahui kedatangan Sri Sudewi. Seseorang yang sedari tadi menunggunya dengan penuh harap.

Hayam Wuruk & Sri SudewiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang