Bab 31

236 33 0
                                    

Bulan separuh tampak begitu temaram menyinari dua orang yang sedang duduk bersebelahan di bangku sebuah taman. Sendu, itulah yang tersirat dari dua pasang mata yang sedang saling bertatapan.

"Permaisuri...." Ucap Ibu Suri Dyah Gitarja mengawali pembicaraan mereka. Kesedihan begitu tampak dari nada bicaranya.
"Sesuatu telah terjadi bukan?"

Sudewi tampak menundukkan pandangannya. Tak mungkin dia akan bisa berbohong pada seorang ibu. Bahkan seorang ibu bisa mengetahui segala kebenaran hanya dari tatapan mata saja.

"Secara tiba-tiba Prabu Hayam Wuruk meminta untuk memperketat keamanan tanpa memberikan alasan yang jelas..." Mata Ibu Suri Dyah Gitarja tampak jauh menerawang pada gelapnya langit malam.
"Aku tahu sesuatu telah terjadi padanya Permaisuri, meskipun dia enggan bercerita apapun."

"Ibu..."

"Apa sesuatu telah terjadi pada kalian di hutan?"

"Ibu..."

"Permaisuri.... Apakah ini ada hubungannya dengan apa yang telah terjadi di Bubat?"

Sudewi nampak terhenyak mendengar pertanyaan terkahir Ibu mertuanya itu. Dia bisa melihat Ibu Suri Dyah Gitarja sedang mati-matian menahan tangisnya.

"Tak ada yang bisa membuatnya begitu terpuruk selain apa yang telah terjadi di Bubat." Ucap Ibu Suri Dyah Gitarja begitu lirih.

"Ibu... Aku mohon jangan mengkhawatirkan hal itu." Ucap Sudewi sembari berusaha tersenyum.

"Bagaimana bisa aku tidak mengkhawatirkannya Permaisuri?"

"Kita hanya perlu memberi Prabu Hayam Wuruk waktu Ibu." Ucap Sudewi.
"Ibu percaya padanya bukan?"

Tatapan khawatir Ibu Suri Dyah Gitarja tampak melemah.

"Apakah Ibu masih ingat tentang apa yang pernah Ibu katakan ketika meminang ku dulu?" Tanya Sudewi.

Ibu Suri Dyah Gitarja tampak menatap lekat-lekat mata menantunya itu.

"Ibu berkata pada saat itu, bahwa harus ada seseorang yang menemani dan melipur laranya bukan? Dan Ibu telah memintaku untuk itu, maka aku akan melakukannya Ibu." Ucap Sudewi bersungguh-sungguh.
"Apapun yang terjadi aku akan menemaninya. Tak kan ku biarkan dia sendiri Ibu."

Air mata nampak telah menetes di wajah Ibu Suri Dyah Gitarja. Digenggamnya tangan Sudewi erat.
"Ibu mohon bersabar lah dalam menghadapi Kakandamu itu Permaisuri."

"Aku punya lebih dari sekedar sabar untuknya Ibu." Ucap Sudewi dengan mata berkaca-kaca.

Perlahan Ibu Suri Dyah Gitarja mengangguk.
"Aku percaya padamu Permaisuri, aku percaya pada kalian berdua."

****

Sudewi seketika ambruk begitu sampai di dalam kamarnya. Teringat pembicaraannya dengan Ibu Suri Dyah Gitarja di taman tadi. Bagaimana bisa dia meminta pada Ibunya itu untuk tidak khawatir, disaat Sudewi sendiri tidak bisa mengendalikan kegelisahannya.

Apa yang harus dilakukannya kini? Bagaimana caranya dia bisa menghadapi Hayam Wuruk yang kembali terpuruk? Pada siapa dia akan bertanya?

Tenanglah Sudewi...
Tenang....

Dengan sekuat tenaga Sudewi berusaha mengendalikan nafasnya yang menderu seiring kegelisahannya yang membuncah.

Ingin rasanya dia berlari kembali ke kamar Hayam Wuruk. Tak ada yang bisa menenangkan hatinya selain harus berada di samping suaminya itu. Namun mengingat betapa Hayam Wuruk menolak kehadirannya, membuatnya berpikir dua kali untuk melakukan hal itu. Dia masih bisa merasakan kuatnya cengkraman tangan pria itu ketika menggiring Sudewi keluar dari kamarnya tadi.

Berikanlah dia waktu Sudewi...
Berikanlah dia waktu untuk sendiri terlebih dahulu....

Tapi sampai kapan? Sampai kapan Sudewi harus memberinya waktu?

"Aku punya lebih dari sekedar sabar untuknya Ibu."

Sudewi mengingat kembali apa yang dikatakannya pada Ibu Suri Dyah Gitarja tadi. Apa yang dimilikinya lebih dari sekedar kesabaran? Apa yang bisa diberikannya pada suaminya itu untuk sekedar mengurangi kesedihannya?

Cinta dan kasih Sudewi...

Air mata tampak menetes di pipi Sudewi. Akankah dia memiliki itu semua untuk diberikannya pada Hayam Wuruk?

Perlahan dipejamkannya matanya. Pikirannya nampak sedang berusaha meraba hatinya, mencari dimana cinta dan kasih sayangnya berada.

Hayam Wuruk & Sri SudewiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang