Bab 102

278 21 16
                                    

Hayam Wuruk tertegun saat mulai melangkahkan kakinya melewati sebuah ambang pintu gerbang, mengikuti jejak Sang Permaisuri yang berjalan di depannya.

Inikah tempat yang dituju Sudewi?

Dengan begitu penasaran, Hayam Wuruk tampak memandangi lamat-lamat apa yang ada disekelilingnya kini. Sebuah kediaman dengan pelataran yang terbilang cukup luas. Letaknya yang di kaki bukit, membuatnya terlihat begitu asri, udara pun terasa begitu sejuk membelai kulit. Di salah satu sisi pelataran kediaman itu berdiri sebuah Pura indah dan ada beberapa bangunan lain yang berjejer rapi disampingnya, tampak begitu bersih dan terawat. Semua ini hanya menandakan bahwa kediaman itu pastilah bukan kediaman biasa. Bisa jadi adalah sebuah Kadewaguruan atau asrama ataupun juga yang semacamnya.

"Ini adalah kediaman Guru Byakta..."

Ucapan tiba-tiba dari Sudewi seketika menjawab semua pertanyaan yang ada di kepala Hayam Wuruk.

"Disinilah kurang lebih selama 8 tahun aku pergi belajar."

Hayam Wuruk pun tersenyum. Ia yakin sekarang, kediaman Gurudesa inilah yang memang menjadi tujuan Permaisurinya itu.

"Tunggulah disini." Pinta Sudewi kemudian sembari mengambil alih keranjang besarnya dari tangan Hayam Wuruk.
"Aku akan masuk sebentar."

"Ya..." Jawab Hayam Wuruk lembut. Ia lantas kembali tersenyum saat memandangi istrinya yang berlalu pergi membawa keranjang besarnya itu.

Sembari menunggu, Hayam Wuruk pun kembali mengedarkan pandangannya. Ia benar-benar mengerti sekarang mengapa tempat ini menjadi tempat yang paling disukai Sudewi di Daha. Tak heran pula jika Permaisurinya itu lebih rela berjalan jauh untuk pergi belajar disini ketimbang harus terkungkung dalam tingginya tembok keraton. Tak bisa ditampik memang, betapa terlihat harmoninya tempat ini. Hayam Wuruk bahkan bisa merasakannya hanya dengan berdiri diam memandangi. Patut lah untuk dijadikan sebagai tempat seseorang menimba ilmu atau sekedar ingin menenangkan diri. Lalu kalau begitu, mengapa Sudewi sempat berpikir bahwa Hayam Wuruk mungkin tak kan menyukai tempat seperti ini?

"Temuilah kami lagi sebelum kau benar-benar pergi."

Suara seseorang yang tiba-tiba terdengar dari luar pintu gerbang seketika mengalihkan perhatian Hayam Wuruk. Samar-samar dari celah dibawah pintu gerbang yang tertutup itu, dapat dilihatnya bayangan beberapa orang yang kini berdiri saling silang. Tampaknya pemilik bayangan-bayangan itu baru lah saja tiba.

"Aku pasti akan menemui kalian lagi sebelum pergi." Terdengar suara seseorang lain yang menjawab.

"Ya berjanjilah wahai Arnawama...."

Arnawama?

Hayam Wuruk seketika terhenyak saat mendengar nama itu. Tak sedang salah dengarkah ia?

"Aku berjanji!!"

Hayam Wuruk bisa mendengar suara itu berteriak keras yang kemudian disusul oleh tawa dari teman-temannya.

"Ya tepatilah janjimu itu. Belum tentu kau akan kembali lagi ke Majapahit nanti jika sudah pergi, bisa jadi ini adalah pertemuan terakhir kita."

"Kau ini bicara apa? Aku saja tak berpikir sampai sejauh itu."

"Kita tak pernah tahu apa yang akan terjadi di depan, Arnawama."

"Ya memang, tapi suatu saat nanti aku tetap ingin kembali."

"Kalau begitu, kami semua, teman-temanmu ini akan menunggumu."

"Ya tunggulah aku..."

Sekali lagi terdengar suara tawa dari bayangan-bayangan itu.

"Baiklah Arnawama, kami pergi dulu. Segeralah temui kami lagi nanti sebelum kau berangkat."

"Ya aku akan menemui kalian lagi nanti. Tak perlu khawatir."

Hayam Wuruk bisa melihat beberapa bayangan lalu terlihat bertolak pergi dari balik pintu gerbang itu dan menyisakan satu bayangan seseorang yang masih tetap berdiri terdiam. Tampaknya sang pemilik bayangan itu ingin menunggu sampai teman-temannya berlalu jauh terlebih dahulu, sebelum akhirnya terlihat berjalan mendekat ke ambang pintu.

Arnawama....

Hayam Wuruk tampak bersiap untuk menyambut sosok yang sebentar lagi akan menampakan rupanya itu. Dan ketika akhirnya terdengar suara derit pintu gerbang yang terdorong perlahan, mewujudlah sesosok pria berbadan tegap yang kemudian berjalan lambat melewati ambang pintu gerbang itu. Jika disejajarkan, pasti akan terlihat tinggi badannya yang tak jauh beda dari Hayam Wuruk, mungkin begitupun juga dengan usianya. Dan meskipun pria itu sedang tertunduk, Hayam Wuruk masih bisa melihat aura santun terpancar jelas dari wajah ovalnya. Selain itu Rambut hitam panjang yang terikat rapi tampak membingkainya tegas, menambah kesan cerdas yang selaras dengan aura santunnya itu.

Tiba-tiba saja, langkah pelan sosok Arnawama itu pun terhenti saat akhirnya menyadari keberadaan Hayam Wuruk yang sedang berdiri diam memandanginya. Pria itu pun lantas mengangguk kecil untuk menyapa Sang Raja yang segera membalasnya dengan tersenyum.

"Tuan ini.....siapa?" Tanya Arnawama kemudian, tampak heran dengan keberadaan seseorang yang terlihat begitu asing di kediamannya itu.
"Apakah ada yang bisa saya bantu?"

"Aku..." Hayam Wuruk nampak ragu untuk menjawab.
"Aku sedang menunggu seseorang."

"Seseorang?" Tampaknya jawaban Hayam Wuruk tak cukup memuaskan untuk Arnawama.

"Ya...." Jawab Hayam Wuruk.
"Aku sedang menunggu istriku. Dia sedang menemui gurunya disini."

"Istri?" Kerutan di dahi Arnawama terlihat semakin dalam.
"Siapakah istri Anda? Apakah ia pernah belajar disini?"

"Istriku adalah-"

"Kanda!!"

Hayam Wuruk dan Arnawama pun serempak memalingkan wajah ke arah suara yang baru saja terdengar memanggil itu.

"Sudewi..."

"Sudewi?"

Tanpa aba-aba, tersebutlah nama yang sama dari mulut kedua pria itu saat melihat si sumber suara yang sedang berjalan mendekat ditemani oleh sosok sang guru.

Lantas di tengah keheningan yang lalu tercipta, pria-pria itu pun tampak kembali saling pandang. Satu wajah kemudian terlihat berusaha menampilkan senyum, sedangkan satu wajah lagi terisi oleh kerutan tanda tanya besar yang tergambar begitu jelas.

"Kanda?" Gumam Arnawama pelan, menirukan panggilan dari Sang Permaisuri untuk seseorang yang kini sedang tersenyum tipis dihadapannya itu.

Hayam Wuruk & Sri SudewiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang