Sudewi tampak memperhatikan langit yang masih begitu gelap di luar jendela kamar yang disediakan untuknya. Waktu benar-benar masih terlalu dini untuk disebut pagi. Udara yang berhembus terasa cukup dingin. Namun itu semua tak bisa menghentikan kesenangan di hati Sang Permaisuri Majapahit itu.
"Sampai bertemu lagi di Simping, Permaisuri." Ucap Hayi lirih saat melihat tuannya itu telah bersiap untuk keluar kamar.
"Tunggulah aku disana Hayi." Ucap Sudewi.
"Aku pasti akan segera menyusul.""Berhati-hatilah selalu Permaisuri." Ucap Dayang Anwa, tatapan penuh kekhawatiran jelas tak lepas dari matanya.
"Aku berjanji akan selalu berhati-hati Dayang Anwa." Ucap Sudewi.
"Aku mohon jangan terlalu mengkhawatirkan kami." Pintanya kemudian.Baik Hayi maupun Dayang Anwa terlihat mengangguk serempak. Sebuah senyum yang sedikit terpaksa tampak tersungging di wajah masing-masing. Keduanya hanya bisa terdiam saat melihat Permaisurinya itu mulai pergi meninggalkan kamar.
Dengan begitu hati-hati, Sudewi berjalan melewati lorong-lorong rumah tempat mereka bermalam, melewati begitu saja beberapa prajurit yang tertidur dengan begitu lelahnya.
Dipercepatnya langkahnya saat telah sampai di halaman rumah itu, dan gerbang yang berdiri kokoh telah terlihat di kejauhan. Ketenangan langsung menyergapi hatinya saat dilihatnya Hayam Wuruk yang berdiri tak jauh dari gerbang itu. Tampak terdiam menunggu bersama seekor kuda disampingnya. Sudewi benar-benar tak bisa menahan senyum bahagianya saat melihat pria itu.
"Kanda..." Panggil Sudewi, yang seketika membuat suaminya itu menoleh. Senyum kelegaan juga nampak tersungging di wajah pria itu.
"Kanda sudah menunggu lama?" Tanya Sudewi.
Perlahan Hayam Wuruk menggeleng. Sembari membawa selembar kain selimut di tangannya, didekatinya istrinya itu.
"Udara masih terlalu dingin Sudewi." Ucapnya seraya menyelimutkan kain itu di bahu Permaisurinya.
"Buatlah dirimu tetap hangat."Dalam sekejap saja dingin yang dirasakan Sudewi berubah menjadi hangat. Begitu hangat, sampai terasa ke dalam hatinya.
"Kau sudah siap?" Tanya Hayam Wuruk, ditatapnya lekat-lekat wanita dihadapannya itu.
"Apa kau masih merasa takut?" Tanyanya lagi."Apa wajahku terlihat seperti sedang takut?" Tanya Sudewi tersenyum.
Perlahan-lahan Hayam Wuruk tampak mendekatkan wajahnya pada Sudewi, berpura-pura seakan sedang mengamati wajah istrinya itu.
"Sepertinya tidak." Ucapnya lembut, membuat tawa wanita dihadapannya itu terlepas."Baiklah kalau begitu nyonya Permaisuri..." Ucap Hayam Wuruk sembari naik ke atas kudanya. "Kudamu sudah menunggu." Diulurkannya tangannya itu untuk membantu sang Permaisuri naik ke atas kuda.
Saat dirasa Sudewi telah nyaman duduk menyamping dibelakangnya, Hayam Wuruk pun segera memacu kudanya.
"Kemana pertama-tama kita akan pergi?" Tanya Sudewi ditengah suara derap kaki kuda mereka yang sedang melaju.
"Kau akan segera mengetahuinya setelah ini." Ucap Hayam Wuruk dengan senyum lebarnya. Sungguh, tak ada lagi yang dirasakan hatinya saat ini kecuali kebahagian. Bisa bersama Sudewi seperti ini adalah hal yang dinantikannya dalam perjalanan ini. Dia bisa merasakan tangan hangat Sudewi yang melingkari pinggangnya, membuatnya merasa begitu nyaman. Bagi Hayam Wuruk kini mereka bukanlah raja dan permaisuri. Tidakkah saat ini mereka tampak seperti sepasang kekasih biasa? Oh seandainya saja memang seperti itu. Dan seandainya saja dia bisa lebih leluasa mengutarakan isi hatinya, maka hari ini akan menjadi begitu sempurna.
Dikejauhan telah terdengar suara debur ombak yang berkejaran. Aroma khas lautan telah begitu kuat tercium seiring angin dingin pantai selatan yang berhembus menerpa wajah mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hayam Wuruk & Sri Sudewi
Ficción histórica"Tak perlu menuliskan seberapa besar rasa cinta di antara kita di atas selembar kertas." "Jika seseorang mengingatku ketika mendengar namamu disebut, maka ia telah mengerti betapa besarnya rasa cinta itu ." "Meskipun seseorang hanya akan mengenal na...