Bab 81

189 32 0
                                    

"Apa kau sudah merencanakan untuk tujuanmu esok hari Paman?" Tanya Hayam Wuruk pada Patih Gajah Mada saat mereka baru saja tiba kembali di keraton Trowulan, terlihat langit di atas mereka telah berubah menjadi gelap.

"Saya dan pasukan telah merencanakan untuk memeriksa daerah Kahuripan esok hari Prabu." Jawab Patih Gajah Mada.

"Kalau begitu usahakan untuk berangkat pagi-pagi sekali Paman." Ucap Hayam Wuruk.
"Pastikan kita sampai di Kahuripan sebelum siang menjelang."

Ucapan Hayam Wuruk tampaknya membuat heran patihnya itu.

"Anda akan ikut pergi lagi bersama kami?"

"Hmmm iya Paman..." Ucap Hayam Wuruk.
"Selama daerah itu masih bisa dijangkau dalam waktu sehari, aku akan tetap menyertai kalian."

"Tidakkah Anda perlu beristirahat, Prabu?" Tanya Patih Gajah Mada.
"Anda sama sekali tak beristirahat semenjak tiba dari lawatan tempo hari. Jagalah kesehatan Anda."

Hayam Wuruk hanya bisa tersenyum tipis mendengar permintaan patihnya itu.
"Jangan mengkhawatirkan ku Paman." Pintanya.
"Jika ditanya siapa orang yang paling berhak beristirahat, maka seharusnya kau lah orang itu. Tak perlu mengkhawatirkan sama sekali raja yang masih cukup muda ini." Lanjut Hayam Wuruk sembari menepuk-nepuk pundaknya sendiri.

Patih Gajah Mada lantas tersenyum mendengar perkataan terakhir rajanya itu.

"Aku cukup takut membayangkan masih ada rakyat di Majapahit yang hidup dibawah ancaman para penjahat seperti yang terjadi di Lodaya. Kalaupun memilih beristirahat, akan menjadi sangat tidak tenang untukku." Ucap Hayam Wuruk.
"Segerakanlah untuk menyelesaikan tugas ini Paman."

"Baik Prabu..."

"Paling tidak kita masih bisa beristirahat di malam hari." Ucap Hayam Wuruk.
"Segeralah pulang Paman, selagi malam masih begitu panjang."

"Anda pun segeralah beristirahat Prabu." Pinta Patih Gajah Mada.
"Saya pamit undur diri." Pria paruh baya itu pun lantas menunduk hormat sebelum akhirnya pergi meninggalkan Rajanya itu.

Sinar bulan yang telah melewati fase purnamanya terasa begitu redup menaungi HayamWuruk yang perlahan mulai melangkahkan kakinya. Bintang pun terlihat tak semarak, seperti malam-malam sebelumnya. Ia pun kembali tersenyum tipis, kenapa seakan pemandangan langit malam ini bersekongkol untuk menambah sendu hatinya?

Oh dan lihatlah lorong-lorong sepi ini!!
Bukankah terasa begitu menyedihkan?

Langkah Hayam Wuruk lantas terhenti saat tiba di persimpangan antara kamarnya dan Sudewi. Ingin sekali matanya melihat wanita itu dan sekedar mencari tahu, sudah sembuhkah ia? Atau masih adakah sakit yang dirasakannya? Bisa beristirahat dengan baikkah Permaisurinya itu hari ini?

Tapi otak dan hati Hayam Wuruk melarangnya. Jika saja bisa menuruti kehendaknya sendiri, mungkin matanya sudah akan memilih untuk melompat dari tempatnya dan menggelinding sendiri ke kamar Sudewi. Namun sayangnya matanya itu hanya bisa menatap sendu lorong menuju kamar itu.

Ma'af mata....
Sepertinya otak dan hati lah yang akan jadi pemenangnya malam ini...

Perlahan Hayam Wuruk mulai melangkahkan kakinya kembali. Berbelok ke arah kamarnya sendiri, meski sebenarnya enggan.

Dengan mengabaikan seorang penjaga yang menyapanya, Hayam Wuruk tampak memasuki kamarnya begitu saja. Kini hanya tinggal kesunyian yang tersaji di hadapannya. Dan dia harus merelakan saat pikirannya perlahan tergiring kembali pada apa yang terjadi padanya malam kemarin.

Hayam Wuruk terduduk lemas. Lelah dengan pikirannya sendiri. Lelah berjibaku dengan keragu-raguan yang kembali merajai hatinya karena surat itu. Surat yang seharusnya tidak dan bahkan tak boleh dibacanya. Surat yang seharusnya hanya menjadi milik Sudewi. Namun apa yang bisa dilakukannya saat ini? Surat itu sudah terlanjur dibacanya sekarang. Entah apa yang dirasakannya saat ini? Rasa bersalahnya kah atau rasa cemburunya kah yang lebih besar? Dua sisi rasa itu benar-benar tak bisa ditahannya.

Di satu sisi rasa bersalahnya datang kembali. Karena jika ternyata Sudewi juga mencintai pria bernama Arnawama itu, maka itu berarti pernikahan mereka bukan hanya menghancurkan impian istrinya itu, tapi juga cinta yang dimilikinya.

Disisi lain dia juga tak bisa mengenyahkan rasa cemburunya, mengetahui bahwa ada kemungkinan Sudewi mencintai orang lain dan bukan dirinya. Pikiran ini benar-benar membuatnya tak rela.

Yang menjadi pertanyaannya sekarang, pantaskah ia merasa cemburu? Sudewi bahkan terpaksa ketika harus menikah dengannya. Akan menjadi sangat wajar jika tetap tak ada cinta dihati wanita itu untuknya. Namun bukan kah tetap saja sekarang Sudewi adalah istrinya? Seharusnya wanita itu seutuhnya jadi miliknya. Jika mau Hayam Wuruk bahkan bisa memaksakan apapun yang dikehendakinya pada Sudewi. Tapi tega kah ia melakukan itu? Tega kah dia menyakiti wanita yang kini teramat sangat dicintainya itu? Hayam Wuruk menggeleng. Dia tak kan pernah sampai hati untuk melihat air menetes dari mata Sudewi, terlebih itu karena dirinya.

Tiba-tiba pandangan Hayam Wuruk memburam, mengingat kenangan mereka ketika di Lodaya. Dia merasa seperti tak ada lagi jarak antara dirinya dan Sudewi pada saat itu. Dia merasa seakan bisa berkata cinta kapan pun dia mau dan wanita itu pasti akan menjawabnya dengan 'ya'. Dia merasa hanya akan ada kebahagiaan setelahnya. Tapi apa yang terjadi sekarang? Surat itu telah meruntuhkan segala keyakinannya.

Hayam Wuruk merasa begitu bodoh. Di meja itu banyak kotak kayu, lalu kenapa harus kotak kayu itu yang disenggolnya? Kenapa pula dia harus tertarik membaca surat itu? Kenapa tak diabaikannya saja kertas yang terjatuh itu?

Kini apa yang harus dilakukannya? Menarik Sudewi lebih dalam ataukah justru melepaskannya? Memeluknya lebih erat ataukah justru merelakannya?

Hanya ada satu cara untuk mengenyahkan segala keraguannya ini, yaitu menanyakannya pada Sudewi langsung, terlepas apapun jawaban yang akan diberikan wanita itu padanya.

Dia akan sangat bersyukur jika Sudewi menjawab 'tidak' dan memilih untuk tetap berada disampingnya. Tidak ada hal yang diinginkan Hayam Wuruk lebih dari itu.

Namun jika Sudewi ternyata menjawab 'ya' bahwa dia mencintai orang lain, maka Hayam Wuruk harus mempersiapkan hatinya sendiri untuk bisa menerimanya. Dan harus ada sesuatu yang dilakukannya demi kebahagiaan wanita itu. Bahkan jika Sudewi ternyata ingin lepas darinya pun, Hayam Wuruk akan mengusahakannya. Tak peduli bahwa ini akan mempertaruhkan posisi mereka sebagai raja dan permaisuri sekalipun. Apapun akan dilakukannya demi kebahagiaan Sudewi, meski itu sangat berat. Karena bagi Hayam Wuruk kini kebahagiaan wanita itu adalah segalanya.

Memikirkan hal itu membuat Hayam Wuruk tertunduk. Haruskah dia kehilangan orang yang dicintainya sekali lagi?

Hayam Wuruk & Sri SudewiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang