Hayam Wuruk benar-benar tak bisa melepaskan pandangannya sedikitpun dari Sudewi yang kini sedang menyiapkan sepiring makanan di sampingnya. Ia pun tersenyum saat Permaisurinya itu lantas menyodorkan piring yang telah terisi penuh itu padanya. Meski tak ada balasan senyuman dari wanita itu untuknya, tapi ini sudah cukup membuat hati Hayam Wuruk senang.
"Saya sempat menerima kedatangan para prajurit Trowulan beberapa Minggu yang lalu Prabu."
Perhatian Hayam Wuruk serta-merta teralihkan saat mendengar ayah mertuanya yang tiba-tiba berucap.
"Mereka berkata bahwa ada tugas dari Patih Gajah Mada untuk melakukan penyisiran. Apakah sesuatu telah terjadi sebelumnya?"
"Ah ya Paman, lebih dari satu bulan yang lalu kami melakukan lawatan ke Rabut Palah dan sesuatu terjadi saat kami singgah di Lodaya. Kami bertemu dengan para penjahat yang mengambil pajak liar dari masyarakat dan tak segan-segan melakukan kekerasan." Jelas Hayam Wuruk.
"Itulah sebabnya aku meminta pada Patih Gajah Mada untuk melakukan penyisiran di seluruh wilayah Majapahit.""Ah begitu rupanya." Raden Kudamerta tampak mengangguk mengerti.
"Anda sibuk sekali kalau begitu akhir-akhir ini, tapi ma'af jika ternyata Permaisuri justru lebih memilih untuk merepotkan dirinya sendiri disini."Tangan Hayam Wuruk yang tadinya sedang menyuapkan nasi ke mulutnya tampak tiba-tiba mematung. Perkataan terakhir ayah mertuanya itu benar-benar membuatnya terdiam. Begitupun juga dengan Sudewi yang perlahan memilih untuk menundukkan kepalanya.
"Itu bukanlah suatu masalah, Paman." Ucap Hayam Wuruk buru-buru.
"Permaisuri pun tak akan bisa sampai disini jika tak ada izinku.""Tapi tetap saja Prabu.." Ucap Raden Kudamerta lagi.
"Seharusnya Permaisuri merasa malu, suaminya bahkan harus menjemputnya kemari karena ia yang tak kunjung kembali. Sebagai ayahnya, saya ingin meminta ma'af atas hal itu."Ditengah rasa tidak nyamannya, Hayam Wuruk masih berusaha tersenyum. Ia tak mengerti mengapa ayah mertuanya harus mengucapkan perkataan yang membuat suasana makan malam mereka menjadi serba canggung seperti ini.
"Tak perlu meminta ma'af Paman." Ucap Hayam Wuruk kemudian.
"Aku sama sekali tak keberatan berada disini. Memang sudah seharusnya aku menjemput Permaisuri meskipun ia tak memintanya. Putri Paman adalah istriku sekarang, maka kini ia adalah tanggung jawabku sepenuhnya.""Anda tak perlu mengikatkan diri terlalu kuat pada hubungan ini Prabu."
Ucapan Ayah mertuanya itu sontak mengaburkan senyum di wajah Hayam Wuruk.
"Maksud Paman?""Hubungan antara raja dan permaisurinya tak pernah terjadi sampai sejauh itu. Anda tak perlu mengikatkan diri terlalu kuat."
Hayam Wuruk tampak memandang tak percaya pada ayah mertuanya itu.
"Bagaimana bisa aku tak akan terikat kuat pada seseorang yang selalu berada di sampingku Paman?"Sembari tersenyum sinis, Raden Kudamerta lantas menghentikan kegiatan makannya. Kini matanya tampak begitu lekat memandang pada anak menantunya itu.
"Saya akan mengatakan pada Anda satu hal Prabu, kalau-kalau Anda belum tahu." Ucapnya.
"Tak pernah ada kisah cinta....antara raja dan permaisurinya."Ucapan itu kembali membuat Hayam Wuruk tertegun.
"Tak ada Permaisuri yang cukup beruntung untuk mendapatkan cinta dan kasih dari suaminya sendiri." Timpal Raden Kudamerta lagi di tengah keheningan mereka.
"Para raja... biasanya akan lebih memilih untuk sibuk mengurusi selir-selirnya."Kegundahan seketika menyelimuti hati Hayam Wuruk. Perlahan ia pun berpaling pada Sudewi. Bisa dilihatnya dengan begitu jelas kegetiran di wajah yang masih diam tertunduk itu.
"Sialnya bagi kebanyakan Permaisuri, ia tak akan punya pilihan untuk menghindari hal-hal seperti itu...bahkan untuk seumur hidup." Tanpa ampun Raden Kudamerta kembali bergumam. Muncul seringai mengerikan di ujung mulutnya, seakan ingin mengimbangi kata-katanya yang kejam.
"Oleh karena itu, Anda pun tak perlu-""Bagaimana dengan ibuku Paman?" Potong Hayam Wuruk tiba-tiba. Rasa jengahnya benar-benar tak dapat ditahannya lagi. Muak, itulah kata yang tepat untuk menggambarkan bagaimana perasaannya saat ini, membuatnya tak lagi peduli akan rasa hormat pada ayah mertuanya itu.
"Dia juga seorang permaisuri, tapi sekalipun aku tak pernah melihat ayahku mengabaikannya demi selir yang dimilikinya. Lalu bagaimana dengan Bibi Dyah Wiyat, apakah Paman melakukan hal sejahat itu padanya?"Pertanyaan mengejutkan dari Hayam Wuruk sepertinya berhasil membuat Raden Kudamerta sontak kehilangan kata-katanya. Pria paruh baya itu nampak begitu terdiam. Tak ada satupun kata yang terucap lagi dari mulutnya yang kini tertutup rapat.
"Adikku juga seorang calon permaisuri dan aku tak bisa membayangkan hal seburuk itu juga akan terjadi padanya." Ucap Hayam Wuruk lagi dengan mata yang memandang begitu getir.
"Ma'af Paman, tapi aku benar-benar tak habis pikir, siapa orang yang telah mengatakan hal semengerikan itu padamu?" Raja Majapahit itu lantas menggelengkan kepalanya perlahan. Ada dengusan yang terdengar dari dalam mulutnya yang masih menunjukkan senyum. Nyaris terlihat seperti sebuah cemoohan.
"Aku bisa menebaknya, orang yang mengatakan itu pada Paman adalah orang yang tak pernah sama sekali merasakan cinta dalam hidupnya. Dan aku jelas tak ingin menjadi seperti itu."Dengan begitu gelisah, Raden Kudamerta lantas bergerak-gerak dalam duduknya. Setiap kata penentang yang diucapkan Hayam Wuruk jelas membuatnya begitu tak nyaman.
Namun seakan belum puas meski telah membuat geming mulut ayah mertuanya itu, Hayam Wuruk terdengar kembali berucap.
"Tolong dengarkanlah setiap ucapanku ini Paman..." Pintanya mengawali, nada suaranya terdengar sedikit melembut kali ini.
"Meskipun aku dididik sangat keras, tapi aku tumbuh dengan cinta dan kasih dari orang-orang yang ada disekitarku. Kini saat aku dewasa, meski harus melewati suatu tragedi kehilangan sebelumnya, namun aku tahu bahwa Dewa telah begitu mengampuniku. Ia telah menunjukkan cintaNya kembali melalui seseorang yang dikirimkanNya untuk berada disampingku sebagai Permaisuri. Sungguh aku tak bisa mengingkarinya, aku merasa begitu diberkahi. Dan jika suatu saat nanti aku akan memiliki seribu selir sekalipun, Permaisuriku akan tetap menjadi yang utama untukku. Cinta dan kasihku adalah miliknya dan akan selalu menjadi seperti itu...bahkan untuk seumur hidup!!"Seiring dengan meluncurnya kata-kata terakhir dari mulutnya, Hayam Wuruk pun kembali berpaling pada Sudewi yang juga ternyata sedang memandanginya. Dicobanya untuk tersenyum begitu lembut pada sang pemilik mata yang sedang menatapnya lekat-lekat itu. Ia bahkan tetap mempertahankan senyumnya meski perlahan sang pemilik mata menundukkan kembali pandangannya.
"Aku akan pergi membawakan makan malam untuk Ibu..." Ucap Sudewi akhirnya, yang lantas segera bangkit berdiri. Tanpa menyelesaikan makan malamnya, wanita itupun pergi berlalu meninggalkan Hayam Wuruk yang memandangi kepergiannya dengan begitu sendu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hayam Wuruk & Sri Sudewi
Historical Fiction"Tak perlu menuliskan seberapa besar rasa cinta di antara kita di atas selembar kertas." "Jika seseorang mengingatku ketika mendengar namamu disebut, maka ia telah mengerti betapa besarnya rasa cinta itu ." "Meskipun seseorang hanya akan mengenal na...