Bab 104

139 15 7
                                    

Sudewi tak bisa menahan senyumnya begitu melangkahkan kaki memasuki ruangan tempatnya biasa belajar dulu. Ruangan itu kini tampak begitu berbeda dari terakhir kali ia melihatnya.

Sudewi masih ingat betul, sebelumnya hanya ada sebuah jendela berukuran sedang di sisi kanan ruangan itu yang baru akan memperlihatkan matahari jika hanya sang raja langit itu sudah tergelincir ke arah barat. Biasanya ia akan mempergunakannya sebagai tanda bahwa waktu belajarnya bersama Guru Byakta akan segera berakhir.

Namun kini dalam ruangan itu, bukan hanya ada satu melainkan empat buah jendela yang ukurannya jauh lebih besar dari sebelumnya. Empat buah jendela itu tampak begitu serasi berjejer di kedua sisi ruangan itu. Masing-masing dua di sisi kiri dan dua di sisi kanan. Membuat ruangan itu benar-benar bermandikan cahaya matahari sekarang.

"Kakang Arnawama membuat jendela-jendela itu tepat setelah kepergian Anda." Sati yang sedari tadi mengikuti terdengar berucap perlahan.

"Begitukah?" Mata Sudewi terlihat semakin lekat memandangi jendela-jendela besar itu.

"Ya..."

Tiba-tiba terdengar suara orang lain yang menjawab.

"Udara segar memang lah sangat bagus untuk seseorang yang sedang belajar."

Terlihat Arnawama yang baru saja memasuki ruangan itu. Tampak tersenyum cerah sembari berjalan mendekat.

"Kalau begitu, kenapa Kakang tak membuat jendela yang sama di ruangan-ruangan yang lain?" Ucap Sati memprotes.

"Aku ingin, tapi tak sempat." Jawab Arnawama singkat.

Sati yang tak puas dengan jawaban itu langsung terlihat memuncungkan mulutnya, membuat Arnawama dan Sudewi sontak tertawa. Lantas, saat mata kedua orang itu akhirnya tak sengaja bertatapan, tawa pun berubah menjadi senyum yang terlihat merekah di wajah masing-masing. Terasa hangat, meski ada sedikit canggung.

"Ma'af kan lah saya, Permaisuri." Ucap Arnawama kemudian.
"Saya tak sengaja menyebut nama Anda saat pertama kali melihat tadi."

"Tak apa Kakang...." Terlihat Sudewi yang menggeleng-gelengkan kepalanya cepat.
"Tak perlu terlalu resmi padaku. Tidakkah aku adalah seorang sahabat lama, maka aku ingin tetap menjadi seperti itu." Tambahnya lagi sembari tersenyum semakin lebar.
"Lagipula aku senang jika mendengar masih ada seseorang yang memanggil namaku."

"Saya mendengar Prabu Hayam Wuruk tetap memanggil Anda seperti itu...." Ucap Arnawama, senyum di bibirnya terlihat semakin hangat, berbanding terbalik dengan senyum Sang Permaisuri yang langsung menghilang begitu mendengar ucapannya itu.

"Kalau begitu, apakah saya juga boleh tetap bersahabat dengan Anda, Permaisuri?" Tanya Sati memotong keterdiaman Sang Permaisuri.

"Tentu saja..." Ucap Sudewi yang terlihat berusaha kembali tersenyum.
"Dan jika aku sedang berada di Daha, aku pastikan akan selalu mengunjungi kalian semua disini."

"Hmmmm tapi sepertinya ini akan menjadi kali terakhir Anda melihat Kakang Arnawama." Ucap Sati, terlihat wajahnya yang berubah menjadi sendu sembari menatap putra gurunya itu.

"Apa?" Kening Sudewi tampak berkerut heran.
"Kenapa begitu?"

"Karena beberapa hari lagi Kakang Arnawama akan pergi jauh."

"Pergi jauh?" Dengan begitu cepat Sudewi lantas berpaling pada Arnawama yang kini terlihat sedang mengulum senyum itu.
"Kemana?"

"Ke India..." Jawab Sati.
"Ke negeri jauh itu lah Kakang Arnawama akan pergi."

"Sati!!!"

Dengan tergopoh-gopoh seorang Kili lain terlihat memasuki ruangan itu. Tampak dadanya yang kembang kempis karena kehabisan nafas sehabis berlari.

"Ayo, kau harus segera datang!!! Prabu Hayam Wuruk akan mengisahkan sebuah cerita pada kita, apa kau tak ingin mendengarnya?"

"Wah benarkah?" Mata Sati tampak membelalak senang.
"Tentu saja aku tak boleh sama sekali tertinggal." Ucapnya lagi sembari menyingsingkan sedikit kain jaritnya.
"Kapan lagi kita bisa mendengar Maharaja berkisah pada kita, ayo!!!"

Dengan langkah lebar Sati tampak keluar dari ruangan itu, meninggalkan Sudewi dan Arnawama yang kini berdiri dalam keheningan.

"India?"

Suara Sudewi yang tiba-tiba terdengar langsung memecah kesunyian di antara dirinya dan Arnawama.

"Benarkah?"

Arnawama terlihat mengangguk kecil.
"Anda ingat teman dari India yang pernah saya ceritakan dulu?"

"Teman yang memberi Kakang pena bulu indah...." Ucap Sudewi teringat akan pena bulu yang diberikan Arnawama padanya.

Sekali lagi Arnawama terlihat mengangguk.
"Dialah yang mengajak saya untuk belajar pada gurunya disana." Ucap Arnawama.
"Dan tentu saja saya tak kan menolaknya."

"Apakah Kakang sangat menginginkannya?" Tanya Sudewi.

"Sangat...." Arnawama tampak tersenyum lebar, namun sedetik setelah itu senyum lebarnya harus menguncup kembali saat melihat Sudewi yang lantas terdiam.
"Apakah ada sesuatu yang salah, Permaisuri?" Tanya Arnawama kemudian.

Dengan begitu perlahan, Sudewi menggelengkan kepalanya.
"Tak ada yang salah Kakang..." Ucapnya.
"Hanya saja, mendengar Kakang yang akan pergi jauh, membuatku teringat pada seseorang."

"Seseorang?"

"Ya..." Ucap Sudewi, dibenaknya kini sedang terbayang senyuman wajah cantik khas Tiongkok milik Zuànshí.
"Seorang sahabat lain yang juga sedang berpergian jauh saat ini." Tanpa sadar, Sudewi lantas menghela nafas begitu dalam.
"Sepertinya Aku benar-benar sedang cemburu pada kalian semua."

"Cemburu?" Terlihat Arnawama yang menatap penuh selidik pada Sang Permaisuri.

"Ya cemburu..." Ulang Sudewi sembari tertawa kecil seolah ingin membuat kata yang baru saja diucapkanya itu terdengar sebagai sebuah candaan.
"Semua orang seakan bisa pergi jauh dengan begitu mudahnya, tapi sepertinya tidak begitu denganku."

"Tidakkah Anda salah, Permaisuri?" Potong Arnawama segera.
"Justru Anda lah yang sebenarnya terbang paling jauh, paling tinggi. Sangat tinggi sampai tak akan ada satu pun yang bisa menggapai Anda." Arnawama lantas tersenyum lembut.
"Bersama Prabu Hayam Wuruk Anda telah terbang begitu tinggi."

Mendengar ucapan Arnawama lantas membuat Sudewi kembali terdiam.

Bagaimana jika ia lah yang justru menjatuhkanku teramat dalam Kakang?

"Apakah Anda bahagia, Permaisuri?"

Pertanyaan Arnawama seketika membuat Sudewi yang sedang menunduk langsung menegakkan pandangannya.
"Ya..." Sudewi mencoba menjawab, meski jawabannya itu terasa begitu mengganjal bagi hatinya sendiri.
"Aku pastikan bahwa aku akan bahagia."

Terlihat Arnawama yang lantas menganggukkan kepalanya.
"Berbahagialah selalu Permaisuri Sri Sudewi. Saya berjanji, setiap kali teringat, saya akan selalu berdo'a untuk itu." Ucap Arnawama sembari tersenyum begitu tulus.
"Dan ma'afkanlah atas segala kesalahan yang saya perbuat di masa yang telah lalu."

"Kau tak pernah melakukan sesuatu yang salah padaku, Kakang. Justru aku lah yang seharusnya meminta ma'af padamu." Ucap Sudewi dengan sedikit terbata-bata karena menahan air mata.
"Aku bahkan sangat bahagia mengetahui ada orang-orang yang akan selalu berdo'a atas kebahagiaanku. Tak ada hal yang lebih membahagiakan untukku selain itu. Aku pun berharap bahwa dimana pun Kakang Arnawama berada hanya akan ada kebahagiaan yang menyertai. Sejauh apapun, selama apapun." Dengan susah payah Sudewi lantas berusaha tersenyum.
"Dan disini, aku akan menunggu sahabat-sahabatku ini kembali ke Majapahit. Aku berjanji tak kan mengecewakan kalian semua yang telah berdo'a untukku, aku akan menunggu kalian semua dengan penuh bahagia."

Senyum tulus Arnawama terlihat semakin merekah. Sekali lagi kedua orang itu pun saling tersenyum. Tak ada lagi canggung, hanya rasa hangat persahabatan yang begitu terasa menaungi hati keduanya.

Hayam Wuruk & Sri SudewiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang