Kirana berdiri mematung di depan teras rumah mewah Gama. Rumah dengan desain minimalis modern asimetris shadow ini seolah sedang mencomoohnya. Seumur-umur dia baru menjejakkan kaki di rumah seperti ini. Rumah bagus yang pernah dia injak adalah rumah pak lurah di kampungnya. Itu pun tidak sebagus dan sebesar rumah milik Gama. Bahkan setengahnya pun tak ada.
"Kamu mau terus berdiri di situ?" tanya Gama dengan suara ketus.
Kirana terkesiap lantas menggeleng cepat. Dengan langkah ragu dia mengikuti sang bos masuk ke dalam rumah. Seorang perempuan tua menyambut kedatangannya. Dandanan perempuan itu mengingatkan Kirana pada ibunya yang suka mengenakan kebaya dan kain batik sebagai bawahan.
"Den Gama bawa wanita baru lagi?" tanya perempuan tua itu sembari memperhatikan Kirana sekilas.
"Iya, Mbok. Tolong beritahu kamar dia ya."
Kirana terheran, kepada perempuan tua itu Gama merendahkan suaranya dan tampak sopan. Tidak seperti saat berbicara pada Kirana.
"Baik, Den. Mari, Nduk. Mbok tunjukkan kamar kamu." Perempuan tua yang dipanggil Mbok itu tersenyum lantas menggiring Kirana memasuki rumah lebih dalam. Sementara itu Gama berjalan menaiki lantai dua rumah.
"Kamarnya sudah Mbok bersihkan. Asisten Den Gama yang dulu-dulu juga tinggalnya di kamar ini," ucap si Mbok sambil menunjukkan kamar yang akan Kirana tempati.
Kamar itu luas. Lebih luas tiga kali lipat dari kamar kosan Kirana. Kamar itu dilengkapi dengan ranjang tidur King size dan juga meja rias plus walk in closet. Sepertinya perabotan itu dibuat satu set dan satu warna, putih. Di bawah tempat tidur ada alas bulu berwarna putih. Satu sofa panjang berwarna krem yang terletak di dekat jendela kamar. Tidak bisa Kirana pungkiri dia menyukai kamar ini.
"Suka enggak?" tanya si mbok setelah menemani Kirana mengitari kamar.
"Suka kok, Mbok," sahut Kirana, membuat si Mbok tersenyum.
"Semoga kamu betah ya, Nduk. Kalau ada apa-apa jangan segan minta tolong si Mbok. Kamar si Mbok ada di belakang," terang perempuan itu.
"Terima kasih, Mbok. Pak Gama cuma tinggal sama si Mbok di sini?" tanya Kirana, mengingat tidak ada orang lain lagi yang Kirana lihat. Rumah ini meskipun mewah dan modern tapi dalamnya sangat sepi. Seperti tidak ada kehidupan.
"Ada satu lagi Mang Eman. Tukang kebun. Tapi biasanya kalau sore Mang Eman pulang ke rumahnya."
Kirana mengangguk seraya membulatkan bibir.
"Ya sudah si Mbok keluar dulu ya, masih ada kerjaan di belakang."
"Baik, Mbok. Terima kasih."
Kirana membiarkan perempuan tua itu keluar dari kamar barunya. Dia lantas bergeser mendekati tempat tidur yang berada di tengah ruangan. Ranjang tidur itu diapit oleh dua nakas berisi lampu tidur tepat di kepala ranjang. Di sebelah kiri terdapat walk in closet berjejer dengan meja rias. Sebelah kanan terdapat ruang longgar dengan dinding berjendela. Karet bulu menghampar di sana. Dan tepat di bawah jendela terdapat sebuah sofa panjang berwarna krem.
Telapak tangan Kirana menyentuh pemukaan kasur yang dia duduki. Selain empuk bahan yang melapisi kasur ini sangat lembut. Kalau sudah begini ingin rasanya Kirana menenggelamkan diri di sana dan meringkuk di bawah selimut yang hangat.
Kamar ini terasa nyaman bagi Kirana. Jadi, apa yang membuat asisten-asisten Gama yang dulu tidak betah tinggal di rumah ini?
Setelah puas berguling di kasur yang empuk, Kirana bergerak turun dan hendak membereskan barang-barangnya. Dia menggeser pintu walk in closet dan berdecak kagum. Ruang di dalamnya luas. Ada banyak slot yang tidak cuma untuk mengisi baju-baju, tapi juga aksesoris pelengkap seperti tas dan sepatu. Dengan riang Kirana mulai menata baju-bajunya.
Ada rasa syukur yang tak terhingga dia mendapatkan pekerjaan ini. Apa pun cobaan yang bakal dia dapatkan nanti semoga dia bisa melewati.
Kirana baru saja menyelesaikan pekerjaan membereskan baju saat ponsel jadul miliknya berdering. Nama Gama tertera di layarnya yang kecil.
"Halo, Pak."
"Datang ke kamar saya sekarang juga."
"Ke kam—"
Panggilan mati begitu saja. Kirana mendesah. Sekarang apa lagi? Kirana salah jika berpikir pekerjaannya selesai saat jam pulang kantor. Nyatanya dia sekarang tinggal bersama Gama, yang artinya dia harus siap menjadi kacung 1 x 24 jam untuk lelaki itu.
Sebelum naik ke lantai dua dia semat bertanya terlebih dulu pada si Mbok letak kamar majikannya. Jadi, dia tahu di antara tiga pintu yang berderet, pintu paling besar adalah kamar Gama. Kirana mendekat dan dengan ragu mengetuk pintu berwarna putih tersebut.
Wajah Gama muncul tidak berapa lama. "Lain kali langsung masuk. Tidak perlu mengetuk pintu," ucap pria itu seraya masuk ke kamar kembali diikuti Kirana.
Ya kali masuk kamar laki-laki nggak ngetuk pintu, gerutu Kirana dalam hati.
"Pintunya tutup lagi dong!" seru Gama. Membuat Kirana terperanjat.
"Tu-tutup, Pak?"
Gama melotot seraya berkacak pinggang. "Memang kamu mau membuat ruangan saya melongo begitu?!"
Meski pikirannya mendadak kacau, Kirana bergerak menutup pintu.
"Hal seperti itu tanpa disuruh pun harusnya kamu tahu! Bodoh!" bentak Gama kesal. Pria arogan itu bergerak menuju ranjang tidurnya yang super big.
Kirana mencoba abai walaupun hatinya sedikit sakit diperlakukan seperti itu. Dia menunduk dalam dan masih bergeming di depan pintu.
"Kenapa masih berdiri di situ?!"
Kirana kembali tersentak mendengar teriakan Gama.
"Cepat siapkan air, saya mau mandi!"
Ya Tuhan, apa dia seorang bayi? Namun, Kirana tidak bisa membantah. Bola matanya bergerak mencari pintu lain di kamar ini.
"Baik, Pak." Dia beranjak setelah menemukan pintu yang dia taksir sebagai kamar mandi.
"Jangan terlalu panas dan jangan terlalu adem airnya."
Kirana hanya menarik napas, tidak menjawab. Dia tidak mau mendengar makian yang lebih pedas lagi dari itu. Perlu menunggu beberapa menit untuk memenuhi isi bathtub. Sembari menunggu air penuh, Kirana meneliti ruang kamar mandi yang luas ini.
Dibanding kamar mandi, ini lebih mirip ruang bersantai. Selain tempat berendam, kamar mandi ini dilengkapi TV LED 40 inci yang tergantung di atas, tepat berhadapan dengan bathtub. Kamar mandi ini terbagi menjadi tiga ruang. Shower room, water closet, ruang berisi bathtub serta wastafel sekaligus menjadi ruang paling besar.
Di sekitaran bathtub terdapat lentera LED, Kirana berinisiatif untuk menyalakan lentera tersebut. Aroma di ruang mandi juga sangat menenangkan sampai Kirana merasa nyaman meski berada di kamar mandi. Sangat berbeda dengan kamar mandinya di kosan yang satu kamar mandinya digunakan bersama-sama sehingga kadang menimbulkan bau yang tidak sedap.
"Kirana!"
Kirana terlonjak kaget. Dia buru-buru menyudahi acara takjubnya. Lalu mematikan kran air dengan segera. Kirana dengan cepat keluar dari kamar mandi.
"Kamu ngapain aja di dalam? Mandi?" tanya Gama dengan raut kesal. "Hanya menyiapkan air mandi saja lama," geramnya, lalu turun dari ranjang.
"Maaf, Pak."
"Jadi, kenapa kamu diam? Cepet bantu saya membuka baju," perintah Gama dengan arogan.
Hah? Kirana ternganga. Dia berusaha keras mengingat apakah dalam job desc ada pekerjaan yang mengharuskan dia membantu melepas baju si bos? Sepertinya tidak ada.
"Memang Bapak nggak bisa melepas baju Bapak sendiri? Masa bisa pakainya nggak bisa melepasnya?"
Mendengar sahutan itu, Gama sontak melotot. "Berani sekali kamu bicara begitu? Kamu itu asisten saya, jadi apa pun perintah saya harusnya kamu nggak banyak bertanya!"
"Iya, saya tau, Pak. Tapi ini kan—"
"Jangan membantah! Cepat kerjakan!"
_____________________
Wkwkwk, niat banget Gama mengerjai Kirana kan?
KAMU SEDANG MEMBACA
The Devil inside You
Romance"Kamu pikir, kamu itu siapa?! Berani sekali mengatur hidupku." Gama menatap tajam, penuh intimidasi kepada wanita yang kini terpojok dengan bibir bergetar. "Kamu itu cuma asisten! Aku ingatkan sekali lagi posisimu. Kamu itu cuma asisten!" bentak G...